Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2022

MENGUBAH NASIB

Gambar
   Oleh : Lidwina Ro    Benarkah kita bisa mengubah nasib? Pertanyaan ini menarik karena pasti akan ada jawaban yang bermacam-macam.     Ketika saya masih duduk di SD, di ujung jalan menuju ke arah alun-alun di pusat kota, ada seorang nenek penjual tepo tahu telur atau lontong tahu telur yang sangat enak. Rumah yang ruang tamunya dijadikan warung itu tidak berukuran besar. Karena keterbatasan tempat, mereka lalu sengaja menggoreng tahu dan mengulek bumbu di depan teras rumah. Hal itu juga mengakibatkan mudah menarik perhatian orang yang melewati jalan itu, sehingga mampir dan membeli. Saya masih ingat betapa lama saya dan ibu mengantre untuk membeli tepo tahu telur  tersebut.     Cara menggoreng tahunya juga sangat tradisional sekali, yaitu dengan menggunakan arang, agar cita rasanya lebih khas. Salah seorang anaknya selalu membantu memutar suatu alat di bawah wajan ketika sedang menggoreng tahu, sehingga  tidak repot mengipasi arangnya. Kegiatan memutar alat itu sangat menarik perhati

TALI SIMPUL (2)

Gambar
 Oleh : Lidwina Ro    Meli berkali-kali mengusap bahuku. Mencoba menenangkan aku dengan segala bujuk rayu. Tapi air mataku benar-benar tidak bisa berhenti menetes. Aku kesal. Aku marah karena aku teledor.    Sore tadi sebelum pulang ke kontrakan, aku mampir di ujung jalan dulu, membeli martabak telur kesukaanku. Maksud hati ingin menikmati cemilan bersama Meli, eh, aku malah kecopetan. Saat akan membayar martabak, aku baru sadar, tas selempangku sudah terbuka, dan dompetku hilang dalam sekejap. Termasuk SIM, KTP dan ATM-ku. Aduh, duh duh! Apes betul hari ini!    ***    Ketukan halus di pintu membuat Meli berdiri meninggalkanku dan menghampiri pintu. Sedang aku mencoba mengingat-ingat lagi, siapa yang berdiri antre martabak di dekatku tadi. Ah, mengapa aku tidak bisa mengingatnya? Aku memukul-mukul kepalaku, seolah ingin mengurai otakku yang buntu.    “Ra,” bisik Meli sambil menarik lenganku. Aku mendongak, menatap Meli dengan pikiran kosong.    “Si Rini mencarimu ....”    Aku menatap M

TALI SIMPUL

Gambar
  Oleh : Lidwina Ro    Tanpa membuka mata, aku sudah tahu siapa yang menetesi wajahku dengan air. Siapa lagi, kalau bukan Meli. Teman satu kontrakanku yang satu ini memang ratunya usil. Selalu tidak senang kalau melihat temannya senang.     “Masih ngantuk aku, Mel,” sungutku sambil mengubah posisi membelakanginya. Aku memeluk guling lebih erat, mencoba kembali tidur. Aku capek. Hari ini apotek tempatku bekerja sangat ramai. Hampir sembilan jam, aku berdiri melayani pasien yang datang dan pergi. Ingin tidur sebentar saja, malah datang Meli si tukang sihir.      “Wih, sakti kau Ra! Kamu itu tidur apa semedi? Tahu saja kalau itu aku.” Meli terkekeh sambil sekarang meraba-raba pinggang. Nah kan? Tukang sihir bener, usilnya kumat.    Tidak tahan dengan gelitikan tangan usil Meli, aku cepat-cepat menyingkirkan tangan Meli dengan sebal.    “Rara bangun, ada yang nyari tuh,” bisik Meli sambil meniup telingaku. Geli! Kali ini aku menyingkirkan kepala Meli dengan mendorong kepalanya jauh-jauh. L

MANUSIA BIASA (2)

Gambar
  Oleh : Lidwina Ro    "Ini aku juga baru saja cari jalan keluar.” Dini tersenyum, ada secercah cahaya kecil memantul dalam matanya.    “Sudah menemukan dokter yang bagus? Dokter siapa?” Aku menaikkan alis, antusias.    “Bukan menemukan dokter, Tih, tapi aku barusan ke situ tadi ... ke rumah Mbah Bejo,” bisik Dini, dan dia terkekeh saat melihat raut wajahku langsung berubah keruh seperti air kobokan.    “Kok Mbah Bejo, Din?” desahku lirih, tak percaya kalau Mbah Bejo adalah alternatif dari masalah Dini. Aku cemberut. Tidak mengira lulusan sekolah farmasi seperti Dini, masih bisa percaya pada urusan klenik untuk membuat dirinya hamil. Ah, aneh sekali rasanya.  ***    Sejak Dini memutuskan untuk berobat pada Mbah Bejo, entah mengapa aku semakin gelisah. Bagaimana mungkin Dini bisa percaya dengan segala ramuan dan jampi-jampi Mbah Bejo? Setiap kali aku melewati rumah Mbah Bejo, hatiku makin lama semakin jengkel karena tidak terima.      Entah dari mana Mbah Bejo mendapatkan semua  il

MANUSIA BIASA

Gambar
 MANUSIA BIASA Oleh : Lidwina Ro    Mbah Bejo adalah orang pintar di kampungku. Semua warga di kampung ini pasti sudah mengenal siapa dia. Bahkan anak-anak kecil pun tahu, dimana rumah Mbah Bejo. Lelaki paruh baya dengan perawakan tinggi kurus dan murah senyum itu tinggal di sebuah rumah yang cukup besar, tidak jauh dari lapangan, dekat rumahku.    Sudah lama aku mengamati rumah Mbah Bejo. Seperti detektif gadungan, diam-diam aku sering mengintip dari balik gorden. Ya, kebetulan saja rumahku juga tidak jauh dari rumah Mbah Bejo. Jadi mudah bagiku untuk memperhatikan siapa saja yang keluar masuk ke rumah Mbah Bejo. Setiap hari selalu saja ada tamu yang datang ke rumah Mbah Bejo. Ada yang datang dengan naik sepeda motor. Tetapi banyak juga yang naik mobil. Ini pertanda bahwa jasa Mbah Bejo mulai diperhitungkan dan bahkan diakui oleh banyak orang. Buktinya orang dari luar kota saja sampai datang memerlukan jasa Mbah Bejo. Itu mudah aku ketahui ketika pulang dari kerja, aku sempat melirik

Reading Challenge ODOP10

Gambar
 Judul Buku (Traveling) : Bersenang-senang di Bali dan Bertualang di Lombok Penulis : Rizal Fahmi Mohamadi Jumlah halaman : 209 Judul Buku (Self Improvement): Secangkir Kopi untuk Bloger (Jangan Berhenti Menulis) Penulis : Kumpulan Emak Blogger Jumlah halaman : 177       Tugas tantangan RCO10 level 3 kali ini adalah Traveling dan Self Improvement. Berdasarkan syarat yang sudah ditentukan, untuk review traveling, saya memilih membaca buku yang mengambil wisata berlokasi di Bali atau di Pulau Dewata.     Sesuai dengan judul bukunya, Bali memang layak disebut tempat untuk bersenang-senang. Apalagi bila bersama-sama keluarga. Di buku ini penulis menyajikan secara komplit informasi mengenai Bali.     Sebelumnya penulis ini sudah membagi pengalamannya berpetualang selama kurang lebih setahun di Bali  dengan bukunya yang sudah terbit berjudul  The Traveler Notes : Bali The Island of Beauty. Kelihatannya seru juga untuk dibaca.    Sedangkan buku ini sendiri berisi dengan berbagai info yang san

RAHASIA KECIL (2)

Gambar
RAHASIA KECIL Oleh : Lidwina Ro  Aku tidak mengerti, mengapa Bapak selalu membohongi Ibu setiap malam Jumat dengan membeli nomor togel? Apakah Bapak tidak menyayangi Ibu lagi? Aku gelisah bukan main. Mau mengadu pada Ibu, tapi takut Ibu malah sedih atas kelakuan Bapak yang tidak terpuji. ***    Setelah meletakkan seragam putih biruku di ember dekat sumur dan mengganti baju, aku bergegas mencuci tangan. Tumben Ibu menungguku di meja makan. Senyum Ibu begitu sumringah, tangannya merangkul bahuku dan menyuruh segera duduk di kursi makan rotan usang yang sudah mulai reyot.    “Lihat, Bud. Ibu masak opor ayam kesukaanmu. Hayo, cepat makan selagi nasi hangat.”    Hah? Opor ayam? Aku terbelalak kaget. Antara senang dan bingung. Bukankah baru kemarin, Ibu bilang tak punya beras? Bahkan sampai tadi pagi, perutku hanya terisi singkong rebus karena hanya itu yang tersisa di kebun. Lalu aku teringat ayam jagoku. Jangan-jangan Ibu mengeksekusi ayamku?    “Apa ... apa ini ayam jagoku, Bu?” tanyaku h

RAHASIA KECIL

Gambar
 Rahasia Kecil Oleh : Lidwina Ro    Malam Jumat adalah salah satu malam yang selalu ingin aku hindari. Bukan karena -konon katanya- setan demit lebih suka berkeliaran di malam tersebut. Sama sekali bukan itu. Bukan.    Malam Jumat membuatku jengkel dan sedikit tersiksa karena Bapak selalu menyuruhku pergi ke rumah Pak Darto. Bukan karena rumah Pak Darto agak terlihat seram saking banyaknya pohon beringin di depan rumahnya. Bukan itu juga, meskipun aku ya agak malas juga, sih, melintasi pohon-pohon beringin besar itu waktu malam. Entah mengapa -konon katanya-  menurut orang pohon beringin memang kelihatan mempunyai aura magis. Tempat setan demit tinggal.     Semua itu bukan alasan utama mengapa aku ingin absen dari pandangan mata Bapak. Semua karena Bapak selalu menyuruhku berbohong pada Ibu. Mau kabur menghindari bapak ke mana aku, pada malam jumat nanti? Ibu pasti juga tidak akan mengizinkan aku malam-malam pergi ke rumah Nono, temanku sebelah rumah.    Aku seperti terjepit di antara

LANGGANAN BARU (2)

Gambar
    Langganan Baru Oleh : Lidwina Ro     Aku mengikuti Pak RT ke depan warung dengan hati galau. Sejak ditinggal Bapak, memang membuka warung kecil ini adalah satu-satunya alternatif penghasilan hidup. Dari hasil berjualan di warung ini -dari pagi sampai malam- aku dan Ibu bisa bertahan hidup.      Pak RT membawaku lebih jauh menyusuri tepi jalan tak beraspal. Dengan pasrah aku mengikuti sambil berdoa dalam hati agar hutang ibu tak terlalu banyak.     “Jadi Pak, se-sebenarnya berapa hutang Ibu?” Aku menarik tanganku, tak mau Pak RT membawaku berjalan lebih jauh lagi. Di warung, kan, masih ada Mbak yang makan.     Pak RT menghentikan langkahnya setelah tiba di dekat jembatan, tak jauh dari warung.     “Hutang apa,Ti?” Pak RT malah menatapku heran.     “Lho, jadi Ibu tidak punya hutang?” Hatiku berbunga senang. Melayang sudah galauku entah kemana. Pak RT berdecak agak kesal.      “Jadi, Pak RT mau bicara apa lho?”     Pak RT menunjuk ke arah jembatan. Aku mengangkat alis, tidak paham.  

LANGGANAN BARU (1)

Gambar
 LANGGANAN BARU Oleh : Lidwina Ro     Aku sampai sekarang masih heran mengapa Bapak meninggalkan Ibu. Bapak meninggalkan ibu begitu saja, seperti meninggalkan bekas piring kotor di tempat cucian. Tidak ada beban. Tidak ada urusan.      Buktinya Bapak malah menikah lagi dengan wanita lain. Membangun rumah tangga baru seperti tidak punya tanggungan. Melupakan Ibu dan aku semudah membalikkan telapak tangan. Lalu, sebenarnya aku dianggap apa oleh Bapak? Beban?     Malam semakin larut. Gerimis yang baru saja berhenti menyisakan hawa sedikit dingin. Aku baru saja selesai menimbang gula pasir dalam plastik setengah kiloan. Lalu dengan rapi aku menumpuk di etalase warung, sejajar dengan tepung terigu, tepung beras dan lainnya.     Puas menata barang-barang di etalase, aku melirik wanita di depan warungku yang masih belum beranjak pergi. Sudah beberapa kali wanita bersama anaknya itu selalu singgah dengan setia makan nasi lodeh ditemani gorengan bakwan jagung.     Selain membuka warung kecil, I

MENGADU NURANI

Gambar
 MENGADU NURANI Oleh : Lidwina Ro    Layaknya maling, Sekar menoleh kanan kiri dulu sebelum dia masuk ke halaman rumahnya sendiri. Hal ini membuatnya sedikit geli sekaligus jengkel. Dia tahu, beberapa jam lagi tetangga yang punya ayam pasti sudah bersiap berkokok. Dan dia juga sebenarnya tahu, tidak elok seorang wanita sering pulang pada jam seperti ini. Belakangan ini, rasa gelisah dan jengkel selalu menyerang hatinya dengan sengit jika dia pulang terlalu malam. Gelisah untuk Ibu. Dan jengkel pada para tetangga, terutama Bu Atik. Ibu bilang, Bu Atik sudah mulai melancarkan nyinyiran miring di acara arisan kampung kemarin.     Sekilas Sekar melihat gorden jendela rumah tepat di sebelah rumahnya bergerak-gerak. Lalu ruangan tamu mendadak gelap, tanda lampu dimatikan dari dalam. Aah! Apa iya, Bu Atik sedang memata-matainya? Mengintipnya? Waduh, celaka! Bisa-bisa warga satu RT besok gempar mendapat berita heboh dari wanita tambun itu lagi. Duh, kasihan Ibu! Pasti Ibu yang pertama kali mem

BUNDEL BOBO

Gambar
BUNDEL BOBO Oleh : Lidwina Ro     Pernah membaca cerita penyihir jahat bernama Si Sirik? Atau Juwita peri cantik berbaju hijau? Juwita selalu berhasil menggagalkan rencana jahat Si Sirik. Di akhir cerita, bisa dipastikan penyihir tua itu selalu lari tunggang langgang karena dikalahkan Juwita.      Atau ada yang familier dengan nama Nirmala? Iya, gadis cantik berbaju pink yang tinggal di Negeri Dongeng? Bermahkota penuh bunga, dan memiliki sebatang tongkat ajaib untuk menolong siapa pun yang perlu di tolong.  Ya, itu semua adalah penggalan cerita dari majalah kesayanganku di masa kecil. Majalah anak-anak Bobo. Beruntung saat itu, aku masih merasakan nikmatnya berlangganan majalah Bobo. Bagiku, hari Kamis adalah hari yang istimewa, hari yang selalu aku tunggu. Aku menunggu di teras rumah dengan antusias. Karena hari itu, Pak Sastro akan berkeliling  mengayuh sepeda, mengantar majalah Bobo dari rumah ke rumah.     Karena hobi membaca, aku jadi punya kebiasaan membaca berulang-ulang tanpa

DASTER DAN GAMIS

Gambar
 Daster dan Gamis Oleh : Lidwina Ro     Aroma secangkir kopi panas yang harum membuat Budi menoleh, meninggalkan sejenak berita di Metro. Sebenarnya dia juga tidak menyimak sungguh-sungguh berita di TV. Sejak pulang dari kerja, kepalanya agak pusing karena mendengar issue di pabrik tadi. Ah, semoga berita itu tidak benar.    Istrinya Menik datang menghampiri, mengambil duduk di sebelahnya. Wajahnya tampak berseri dan segar. Menik tersenyum manis sambil memegang sepiring camilan.     Hm, bukan sembarang camilan. Bukan singkong goreng atau pisang rebus seperti biasanya. Tetapi sore ini istimewa sekali. Irisannya tebal cokelat, dan mengundang lapar. Sepiring bolu! Bukannya senang, Budi malah curiga.     “Dicicipi bolunya, Mas.”     “Tumben,” ujar Budi sambil meniup-niup kopinya. Telinganya segera bersiap-siap mendengar cerita istrinya sore ini. Kebiasaan Menik memang begitu. Selalu bercerita  kegiatannya sepanjang hari.      “Iya. Apa Mas tidak bosan makan singkong dan pisang rebus terus?

LAGU CINTA

Gambar
 LAGU CINTA  Oleh : Lidwina Ro     Bau semerbak wangi parfum yang familier tercium oleh Budi. Seketika hati Budi mendadak dongkol. Asem, pasti itu ulah Joko! Tidak kapok juga dia memakai parfum orang!     Dan benar saja. Budi melihat Joko yang sedang bernyanyi lagu cinta, sedang mengaca. Sudah mandi rupanya. Memakai kemeja kotak-kotak biru, dan bercelana jeans biru pula. Rambut tersisir rapi. Menambah wajah tampannya semakin bersinar. Memang tak salah kalau Joko menjadi incaran siswi di SMA mereka. Tapi parfum itu...     “Sudah jangan cemberut, nanti aku ganti baru parfummu kalau uang bulananku dikirim bulan depan,” Joko terkekeh melihat wajah Budi yang kesal.     “Dari bulan lalu omonganmu selalu sama. Makanya jangan kauhabiskan jatah uangmu untuk mengajak nonton bioskop pacar-pacarmu yang tidak jelas itu!” sahut Budi ketus.     Joko tertawa gelak, dia segera merangkul Budi. Teman satu kost yang bawel, tapi perhatian.      “Yang ini beda, Bud. Tasya harus kutaklukkan kali ini. Aku sud

ADINDA

Gambar
 Adinda Oleh : Lidwina Ro Gajah biru itu seolah tersenyum simpul di sudut ranjang. Matanya yang hitam kecil itu seolah ikut menertawakan rasa letih yang terpantul di mataku, yang sudah beberapa hari sengaja kuumbar. Sekedar meluapkan rasa letih yang menyelinap diam-diam, aku mencoba menyingkap tirai jendela kamar anakku. Mencari sesuatu di antara ribuan tetesan air hujan. Sesuatu yang mungkin bisa menjadi penawar letih. Ah! Masih pemandangan yang sama. Hujan gerimis membuat warna sore menjadi makin muram. Hanya rimbunan melati di belakang halaman depan yang menari riang. Daun-daunnya bergerak ke kiri kanan seirama dengan air hujan yang menimpa. Tampak segar dan serasi dengan kuntum-kuntum melati yang berwarna putih. Melihat melati yang mekar itu, bayangan Adinda segera merasuk pikiranku. Tersenyum cantik dengan sebelah lesung pipit di pipi kiri. Semakin besar Adinda, aku semakin jarang melakukan pekerjaan untuknya lagi. Seolah tanggung jawabku terlepas perlahan-lahan. Ketika Adinda mas

Cinta Semu (9 )

Gambar
 CINTA SEMU (9) Oleh : Lidwina Ro     Tidak seperti biasa, kali ini Amel dengan cepat  menghabiskan sepiring nasi soto Betawi. Bukan karena takut Rey selalu mengejeknya bertubuh seperti papan karena malas makan. Tetapi karena Rey berjanji akan menjawab semua pertanyaan Amel setelah makan siang.     Diam- diam Amel menatap Rey. Wajah yang sama persis dengan lelaki pemilik hatinya. Dulu.      Keningnya. Hidungnya. Mulutnya. Tubuhnya. Mereka berdua hampir memiliki semua persamaan, kecuali aura dari sinar mata. Mata Reza lebih tenang dan serius. Sedangkan mata Rey begitu jahil dan santai. Reza amat perhatian, sedang Rey amat selengekan, suka menggoda. Mungkin karena itu, Amel lebih suka bermain dan mengikuti Reza ke mana saja daripada meladeni gurau dan kejahilan Rey.     Bersama Reza semua terasa nyaman dan menyenangkan. Sampai suatu hari ada gadis lain yang juga merasa nyaman berdekatan dengan Reza. Jarak yang jauh membuat Amel kalah langkah. Atau karena jalinan kasih antara dirinya dan

CINTA SEMU (8)

Gambar
 CINTA SEMU (8) Oleh : Lidwina Ro      Kali ini Amel yang tak sabar menunggu Rey. Berkali-kali gadis itu menengok ke arah jalan, berharap Rey segera muncul seperti biasa. Ada banyak pertanyaan yang menggelitik hati Amel setelah kemarin, tanpa sengaja Tante Dewinta membahas bicara tentang cincin pertunangan. Semalaman Amel gelisah tidak bisa tidur. Kalimat Tante Dewinta menjadi beban pikirannya.     “Akhirnya cincin ini berada di tangan pemiliknya. Tante lega, Amel.”     “Apa maksud Tante?”     “Tante masih ingat saat pertama kali Rey membelinya. Rey begitu bahagia dan menunjukkan cincin ini pada Tante.”     “Lalu ... lalu apa yang terjadi?”     Senyum Tante Dewinta lalu perlahan memudar dan berubah menjadi senyuman yang menantikan kepedihan. Wajahnya kehilangan seri saat tangannya menggenggam jari Amel kemarin.      “Karena Rey amat menyayangi adiknya Reza, jadi dia dengan berat hati melepasmu untuk Reza.”     Amel seketika seperti di sengat kala. Matanya nanar menatap Tante Dewinta ta

Reading Challenge ODOP 10

Gambar
 Judul buku : Teng Hui – KUNCI KEBAHAGIAAN Penulis   : Alberthiene Endah Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Terbit      : tahun 2017 ISBN : 978-602-03-7630-2 Halaman : 348     Tantangan RCO level kedua season 10 adalah pilihan bebas, non-fiksi atau fiksi. Kali ini saya akan mencoba belajar memilih tantangan non fiksi.      Buku ini ditulis oleh Alberthiene Endah atas pengalaman hidup Teng Hui dalam memaknai hidup  berkemenangan sejati yang  sesungguhnya.       Teng Hui adalah anak ke empat dari delapan bersaudara. Setelah kematian papanya yang mendadak, sang mama - adalah ibu rumah tangga yang lebih banyak mengabdi di rumah dan merawat anak-anak- tidak dapat melanjutkan usaha keluarga mereka. Berkat ketekunan Teng Hui, meskipun dia harus jatuh bangun dan dendam akan takdir buruk yang harus dilaluinya, akhirnya Teng Hui berhasil sukses setelah mengalami banyak kesulitan hidup dan ketidakbahagiaan. Teng Hui mengamati, belajar banyak dan melakukan apa yang dia sebut sebagai hidup bahagi

CINTA SEMU (7)

Gambar
 CINTA SEMU (7) Oleh : Lidwina Ro     Setelah menahan dua jam lebih, akhirnya Amel tidak bisa menahan lebih lama lagi. Sudah terlalu lama kepala dan pikirannya berat memikir, menerka, dan merangkai dugaan. Tapi semua seolah-olah berputar seperti gasing, dan Amel tak menemukan jawaban. Semua buntu. Ya ampun, ada cerita apa sebenarnya di balik cincin mawar batu biru ini? Mengapa Rey malah memberi cincin ini padanya? Apakah di toko tidak ada cincin pertunangan yang lain?     Amel menghela nafas, melirik pada Rey lagi yang masih saja mengobrol. Entah sampai kapan para lelaki itu berhenti tertawa-tawa dan pulang? Amel bosan menunggu semua tamu itu pulang. Amel juga bosan pura-pura tersenyum bahagia di depan semua orang. Dia muak dan ingin segera pulang. Membenamkan seluruh kepala pada bantal dan ingin berteriak sekencang-kencangnya melepas penat dan sakit!     Dengan malas Amel mencoba menelan puding cokelat dengan garpu kecil. Meskipun sedikit lapar, tapi Amel sama sekali tidak berselera m