TALI SIMPUL (2)


 Oleh : Lidwina Ro


   Meli berkali-kali mengusap bahuku. Mencoba menenangkan aku dengan segala bujuk rayu. Tapi air mataku benar-benar tidak bisa berhenti menetes. Aku kesal. Aku marah karena aku teledor.

   Sore tadi sebelum pulang ke kontrakan, aku mampir di ujung jalan dulu, membeli martabak telur kesukaanku. Maksud hati ingin menikmati cemilan bersama Meli, eh, aku malah kecopetan. Saat akan membayar martabak, aku baru sadar, tas selempangku sudah terbuka, dan dompetku hilang dalam sekejap. Termasuk SIM, KTP dan ATM-ku. Aduh, duh duh! Apes betul hari ini! 

  ***

   Ketukan halus di pintu membuat Meli berdiri meninggalkanku dan menghampiri pintu. Sedang aku mencoba mengingat-ingat lagi, siapa yang berdiri antre martabak di dekatku tadi. Ah, mengapa aku tidak bisa mengingatnya? Aku memukul-mukul kepalaku, seolah ingin mengurai otakku yang buntu.

   “Ra,” bisik Meli sambil menarik lenganku. Aku mendongak, menatap Meli dengan pikiran kosong.

   “Si Rini mencarimu ....”

   Aku menatap Meli dengan bingung. Rini, anak perempuan kecil itu mencariku? Ada apa semalam ini dia mencariku?

   “Sudah, temui saja dulu,” bujuk Meli -seolah bisa menerka isi kepalaku- sambil mengambil tissue. Dengan lembut Meli mengusap pipiku yang basah.

   Aku bangkit dan menuju ke pintu. Tertegun melihat Rini tidak datang sendiri. Langkahku ragu untuk melangkah lebih dekat lagi.

   Samar-samar ingatanku kembali normal. Dia ... lelaki dengan lengan penuh tato yang beberapa hari lalu di warung kopi itu, berdiri di belakang Rini. Mau apa preman itu kemari? Dadaku bergemuruh, menatap Rini dan lelaki itu bergantian. Sesaat aku cemas, jangan-jangan Rini punya masalah. Jangan-jangan ....

   “Jangan panik. Aku kakaknya Rini.”

   Aku menahan napas.  Terperangah kaget ternyata preman itu adalah kakaknya Rini. Sialnya lagi preman itu  bisa membaca gelisahku. Ketika melirik Rini yang tersenyum kecil, barulah aku sedikit lega. Hm, berarti benar lelaki bertato itu kakaknya.

   Tanpa permisi, lelaki itu masuk ke dalam, dan langsung menghampiriku. Tangannya mengulurkan sesuatu, yang membuat aku semakin terperangah dan hilang kata.

   “Ini dompetmu, kan? Masih utuh. Periksalah.”

   Bukannya lega, aku malah menatap heran Rini dan lelaki itu bergantian. Sekilas aku melirik Meli yang juga bingung. Oh, ya ampun! Meli malah kelihatan parah. Melongo kaget dengan air liur yang hampir menetes!

   “Emm, te-terima kasih. Ma-maafkan aku.” Aku bingung mau bicara apa.

   “Aku yang harus minta maaf. Temanku yang mencopet dompetmu tadi.”

   Ha? Apa! Rasanya aku benar-benar ingin pingsan sekarang. 

   “Ya, aku bukan orang baik. Kebetulan Rini ada bersamaku ketika temanku setor buruannya sore tadi. Ketika kami membuka dompetmu, Rini mengenali wajahmu dari foto KTP.”

   Aku menatap Rini. Anak itu menunduk, kelihatan serba salah, takut dan malu.

   “Aku tahu kamu sering membantu adikku. Aku mohon, tolong maafkan kami.”

   Aku hanya bisa mengangguk lemah. Mengatur nafasku yang memburu. Otakku belum bisa sempurna mengunyah hal yang terlalu mendadak dan mengejutkan ini.

   Tiba-tiba Rini melangkah mendekatiku, menggenggam tanganku. Tangan anak itu terasa amat dingin, aku menjadi iba. Sedang bola mata Rini sendu, menatap lembut seolah meminta maaf. Tidak ada suara yang keluar dari mulut kami berdua. Malam seolah memakan lumat semua kata yang pernah ada. Menyisakan hening penuh makna. Aku yakin, hanya aku dan Rini yang bisa merasakan ada seutas tali simpul yang saling mengikat antara kami. Tali simpul, ikatan hati yang tak kasat mata.

  (Selesai)

Cikarang, 280222


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik