MENGADU NURANI


 MENGADU NURANI

Oleh : Lidwina Ro


   Layaknya maling, Sekar menoleh kanan kiri dulu sebelum dia masuk ke halaman rumahnya sendiri. Hal ini membuatnya sedikit geli sekaligus jengkel. Dia tahu, beberapa jam lagi tetangga yang punya ayam pasti sudah bersiap berkokok. Dan dia juga sebenarnya tahu, tidak elok seorang wanita sering pulang pada jam seperti ini. Belakangan ini, rasa gelisah dan jengkel selalu menyerang hatinya dengan sengit jika dia pulang terlalu malam. Gelisah untuk Ibu. Dan jengkel pada para tetangga, terutama Bu Atik. Ibu bilang, Bu Atik sudah mulai melancarkan nyinyiran miring di acara arisan kampung kemarin. 

   Sekilas Sekar melihat gorden jendela rumah tepat di sebelah rumahnya bergerak-gerak. Lalu ruangan tamu mendadak gelap, tanda lampu dimatikan dari dalam. Aah! Apa iya, Bu Atik sedang memata-matainya? Mengintipnya? Waduh, celaka! Bisa-bisa warga satu RT besok gempar mendapat berita heboh dari wanita tambun itu lagi. Duh, kasihan Ibu! Pasti Ibu yang pertama kali memanen malu, kena getahnya. 

   Buru-buru Sekar melanjutkan langkah. Gerimis di akhir bulan November sudah membuat bajunya setengah basah sejak turun dari ojek tadi. Angin yang dingin menembus merasuk sampai tulang, sempurna sudah melengkapi penatnya pikiran dan lelah Sekar seharian ini. 

   Dengan kunci cadangan, Sekar membuka pintu rumah. Dengan berjingkat dia mengintip kamar. Tampak Bagus tidur di antara ibu dan adiknya perempuan. Sementara adik laki-lakinya tidur di kamar sebelah. Mata Sekar lalu menangkap seragam atasan putih SMP yang tergeletak di atas meja. Sekar mengelus seragam itu, lalu memperhatikan dengan cermat. Seragam putih yang tak lagi putih itu, robek pada bagian ketiak. Sudah terlalu sempit ....

***

   Bagus belum berumur setahun. Terlahir sehat dan menggemaskan. Memiliki alis tebal dan mata duplikat bapaknya. Ironis sekali Sekar kini justru harus melihat setiap hari sepasang mata yang ingin dibencinya seumur hidup itu, justru pada diri anaknya, Bagus.

   Sekar menggigit bibir, menahan pilu yang dalam. Menahan kemarahan yang tidak berujung pangkal yang sudah lama mendekam di dadanya. Kemarahan yang selama ini tidak diizinkan untuk keluar dari hati yang paling gelap.

   Sekar menyentuh dahi Bagus dengan ujung hidung. Bau telon samar-samar tercium segar. Titipan Tuhan yang begitu sempurna. Amanah Tuhan yang harus dijaga dan dicintai sepenuh hati. Sekaligus pelipur pilu dan cahaya kecilnya!

   Dalam lelap, ujung bibir anak itu melengkung ke atas, tersenyum. Entah bermimpi, atau sekedar menenangkan kegundahan ibunya. Dan memang ... senyum anak itu selalu bisa membuat hatinya seperti diterangi cahaya kecil yang  hangat. Mengantarnya ke titik terendah. Meredupkan amarah dan kembali mengingat tujuan awal dia bertahan sampai sekarang. 

   “Bagaimana lamaran kerjamu yang kemarin?” tanya Ibu memutuskan lamunan, sambil mengelus kepala Sekar, yang sedang tidur menyamping sambil memandangi Bagus yang sudah tertidur. 

   Sekar menghela napas. Menghapus sudut matanya yang basah, sebelum membalikkan punggung. Dia tahu, Ibu pun juga kurang menyukai pekerjaannya yang sekarang. 

   “Belum ada panggilan, Bu.”

   Entah sudah berapa kali Sekar menyebar lamaran. Tetapi lulusan SMA seperti dirinya bisa kerja apa? Masih untung, sahabatnya Lilia menawari kerja. Kalau tidak? Dari mana dia bisa membeli susu, popok,  dan kebutuhan Bagus lainnya? Apalagi Bapak sudah meninggal. Masih ada dua orang adik yang harus sekolah. Mengandalkan ibu yang sehari-hari berjualan rujak dan es dawet di depan rumah, mana cukup?

   Mendengar jawaban itu, Ibu  meremas tangan dengan pandangan resah. Hati Sekar semakin pilu. Tetapi hanya pekerjaan ini yang sementara bisa menolongnya keluar dari segala masalah. Persetan dengan apa pun omongan tetangga!

   “Sabar, Bu. Nanti Sekar coba melamar pekerjaan yang lain lagi. Emm ... apa ada yang nyinyirin aku?” 

   Ibu memaksa tersenyum, menatap Sekar sendu dan menggeleng arif. Bagaimanapun juga, dirinya tahu Sekar murni bekerja. Dan seluruh isi penghuni rumah ini masih memerlukan hasil jerih kerja Sekar. Hanya Sekar, anak tertua yang sekarang sanggup menutupi kebutuhan hidup mereka. Jadi harus mulai membiasakan diri mendengarkan suara-suara sumbang tetangga. Memangnya mereka tahu apa tentang rasanya terjepit? Lapar dan kekurangan? 

   Sekar berdiri, merapikan baju yang sedikit kusut karena berbaring memandangi Bagus. Sebenarnya Sekar sudah siap berangkat kerja. 

   “Bu,” bisik Sekar lirih. Tangannya menyisipkan beberapa lembar ratusan ribu di sela-sela jari ibunya.

   “Kemarin malam aku lembur, jadi ada uang tambahan dari Pak Bos. Belikan seragam Adik, dan untuk keperluan dapur.”

   Ibu menggenggam uang dengan mata berkaca-kaca. Merasa sedih dan tak rela. Hatinya seperti tertusuk ribuan jarum melihat Sekar yang pandai dan cerdas, sekarang terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga. Seharusnya tahun lalu Sekar bisa kuliah dengan beasiswa. Oh! Kalau saja suaminya belum meninggal ... Kalau saja Sekar tidak hamil dulu dengan kekasihnya ... Kalau saja besannya mengakui anak Sekar ... Pasti Sekar tidak akan sesulit  ini menjalani nasibnya. 

   “Sudah, Bu. Aku pamit kerja dulu. Titip Bagus, ya? Sudah ... jangan menangis lagi ....”

   Sekar mencium lama pipi Ibu dengan sayang. Mencoba menguatkan hati. Lalu menyambar tas tangannya di meja.

   Bu Atik yang kebetulan membuang sampah di depan rumah, melirik tajam. Ketika Sekar menyapa, Bu Atik membalas ketus dengan sedikit mencibir.

   Statusnya yang tidak jelas dan pekerjaannya yang menuntut pulang malam, membuat Sekar harus rela menutup mulut, bahkan menutup mata dan hati! Mungkin mereka risi dengan dirinya. Sudah tak bersuami, pulang kerja sering sampai larut malam lagi!

   Tukang ojek langganannya menghadiahi satu senyuman saat Sekar mendekat. Rupanya dia sempat melihat cibiran Bu Atik yang sengit.

   “Jangan di ambil hati, Mbak.”

   Sekar tersenyum pahit. Mencoba menjejali pikirannya dengan lukisan cahaya kecil yang selalu mampu meredakan jengkel dan amarahnya.

   “Nanti malam pulang sampai pagi lagi, Mbak?”

   “Tidak, Pak Wit. Hari ini tidak ada acara spesial, ulang tahun tamu seperti kemarin.”

   “Berarti nyanyinya sampai jam sepuluhan ya, Mbak?”

   “Iya, Pak Wit. Jemput aku seperti biasa, ya?”

   “Oke, siap. Ayo meluncur ke kafe sekarang, Mbak!”

   Sekar tersenyum. Bertekad bertahan, menguatkan hati, mengadu nurani dan logika dalam dialog panjang tentang cerita hidupnya. Demi cahaya kecil yang selalu menghangatkan hatinya, dia memutuskan untuk tetap bernyanyi di kafe milik Lilia.

 ***

Cikarang, 200222




















Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik