LANGGANAN BARU (2)


    Langganan Baru

Oleh : Lidwina Ro

    Aku mengikuti Pak RT ke depan warung dengan hati galau. Sejak ditinggal Bapak, memang membuka warung kecil ini adalah satu-satunya alternatif penghasilan hidup. Dari hasil berjualan di warung ini -dari pagi sampai malam- aku dan Ibu bisa bertahan hidup. 

    Pak RT membawaku lebih jauh menyusuri tepi jalan tak beraspal. Dengan pasrah aku mengikuti sambil berdoa dalam hati agar hutang ibu tak terlalu banyak.

    “Jadi Pak, se-sebenarnya berapa hutang Ibu?” Aku menarik tanganku, tak mau Pak RT membawaku berjalan lebih jauh lagi. Di warung, kan, masih ada Mbak yang makan.

    Pak RT menghentikan langkahnya setelah tiba di dekat jembatan, tak jauh dari warung.

    “Hutang apa,Ti?” Pak RT malah menatapku heran.

    “Lho, jadi Ibu tidak punya hutang?” Hatiku berbunga senang. Melayang sudah galauku entah kemana. Pak RT berdecak agak kesal. 

    “Jadi, Pak RT mau bicara apa lho?”

    Pak RT menunjuk ke arah jembatan. Aku mengangkat alis, tidak paham.

    “Kau tahu, dulu ada kecelakaan angkot dan angkotnya menabrak jembatan, langsung terjun ke bawah?”

    Aku mengangguk ragu. Sepertinya kejadian itu sudah lama sekali. Lha mengapa Pak RT tiba-tiba mengungkitnya? Aku terdiam, mencoba mencerna perkataan lelaki bertubuh subur itu dengan susah payah. Tetapi tetap saja aku tidak mengerti arah pembicaraan Pak RT, kecuali rasa lega bahwa Ibu tidak berhutang.

    Pak RT menghela napas. Lalu kudengar dia merapal doa. Entah apa maksudnya. 

    Pak RT yang seharusnya seumuran dengan bapakku itu, lalu mengajakku kembali ke warung. 

    Wanita langganan baru dan anaknya itu sudah pergi. Nah,kan! Ini gara-gara Pak RT yang mengajakku ke tepi jembatan. 

    “Tuh lihat, Pak, Mbak itu sudah pergi dan belum membayar, tuh.” Aku mengeluh dengan suara setengah menuduh. Bisa bangkrut warungku kalau begini. Wah!

    “Ke mana Mbak itu, ya, Pak?” gerutuku sambil cemberut.

    “Namanya Mbak Surti.”

    Aku menatap heran Pak RT.

    “Lho, kok tahu Pak, yang makan tadi itu Mbak Surti?”

    “Dia dan anaknya adalah salah satu korban penumpang angkot yang jatuh dari jembatan tadi. Kebetulan Surti adalah adik iparku.”

    Aku memekik kaget. Lututku seketika langsung lemas. Pak RT menolongku duduk dan buru-buru mengambil segelas air putih. Aku meminumnya dengan tangan gemetar. Mencoba memutar ingatan kembali pada bayangan wanita dan anaknya yang makan dengan lahap. Entah mengapa aku tidak pernah melihat keganjilan pada tampilan mereka. Dan mengapa hanya Pak RT yang bisa tahu keberadaan mereka?

    “Sudah malam,Ti. Beresi warungnya dan segera tutup. Cepat istirahat.” Pak RT berdiri, menarik napas panjang. “Dan kau ... jangan banyak melamun. Itu tidak baik.”

    Aku hanya terdiam.

    “Untuk apa yang mereka makan, ini Bapak saja yang bayar.” Pak RT meletakkan tiga lembar uang lima puluh ribuan di meja.

    Aku asal mengangguk, masih bingung dan gemetar dengan apa yang sudah terjadi. Sementara aku bersikeras mengumpulkan bayangan wanita dan anaknya yang makan dengan lahap di warung, otakku semakin menolak menemukan bayangan mereka lagi. Semua seolah lenyap dalam sekali sapuan angin malam yang meremangkan bulu kudukku.

(Selesai)

Cikarang, 220222


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik