LANGGANAN BARU (1)

 LANGGANAN BARU

Oleh : Lidwina Ro


    Aku sampai sekarang masih heran mengapa Bapak meninggalkan Ibu. Bapak meninggalkan ibu begitu saja, seperti meninggalkan bekas piring kotor di tempat cucian. Tidak ada beban. Tidak ada urusan. 

    Buktinya Bapak malah menikah lagi dengan wanita lain. Membangun rumah tangga baru seperti tidak punya tanggungan. Melupakan Ibu dan aku semudah membalikkan telapak tangan. Lalu, sebenarnya aku dianggap apa oleh Bapak? Beban?

    Malam semakin larut. Gerimis yang baru saja berhenti menyisakan hawa sedikit dingin. Aku baru saja selesai menimbang gula pasir dalam plastik setengah kiloan. Lalu dengan rapi aku menumpuk di etalase warung, sejajar dengan tepung terigu, tepung beras dan lainnya.

    Puas menata barang-barang di etalase, aku melirik wanita di depan warungku yang masih belum beranjak pergi. Sudah beberapa kali wanita bersama anaknya itu selalu singgah dengan setia makan nasi lodeh ditemani gorengan bakwan jagung.

    Selain membuka warung kecil, Ibu memang sengaja menyempatkan memasak masakan sederhana seperti sayur lodeh labu siam, sayur asem, balado terong atau telur bumbu bali. Kebetulan warung ini berada di pinggir jalan. Peluang sopir angkot untuk singgah membeli makan atau sekedar membeli rokok selalu ada.

    Diam-diam aku tersenyum menatap anak kecil sekitar lima tahunan yang makan dengan lahap disuapi ibunya itu. Lodeh masakan Ibu memang gurih dan lezat. Melihat gelas teh yang sudah kosong, aku segera menawarkan teh manis hangat yang baru.

    Piring gorengan bakwan dan tempe mendoan juga terlihat hampir habis. Langganan baruku ini kelihatannya cocok dengan masakan Ibu. Aku tersenyum senang. Hatiku bertambah berbunga ketika sebuah motor datang menepi di depan warung. Ada pembeli lagi!

     “Jam segini kok masih buka warungmu, Ti? Mana ibumu?”

    Aku segera mengenali suara dan tubuh subur pak RT. Pak Danang memang sering membeli rokok di warungku.

    “Ibuk sudah tidur dari sore, Pak. Agak meriang.”

    Pak Danang mengangguk. Seperti biasa Pak Danang membeli rokok kesukaannya. Matanya mengedar ke seluruh penjuru warung, dan berhenti pada wanita dan anaknya yang sedang makan itu. Sejenak dia terdiam.

    Setelah menerima kembalian uang rokok, Pak Danang masuk ke dalam mendekatiku.

    “Tumben belum tutup warungmu,” bisiknya pelan. Matanya nyalang menatapku.

    “Masih menunggu Mbak itu makan. Tuh, belum selesai ....”

   “Langganan baru toh, Ti?”

   “Iya, Pak, langganan baru,” jawabku bangga. 

    Bukannya pulang, Pak RT malah menyeret kursi bakso plastik, dan menatapku intens. Aku pun sedikit heran dengan tingkah laku Pak RT yang sedikit janggal. Hm, ada apa ini?

     “Ti, bapak mau ngomong sesuatu. Kamu ikut bapak sebentar, ya?” ujar Pak RT dengan suara pelan, seolah tidak ingin ada orang yang mendengar.

    Tanganku yang baru saja mau membersihkan meja dapur dari tumpahan teh manis, segera berhenti di udara. Menatap Pak RT dengan sangat keheranan. Hah? Mengapa Pak RT malam ini agak aneh, ya?

    “Sekarang, Pak? Ada apa to Pak?” Nah, kan! Aku mengerutkan alis, sibuk menerka apakah kira-kira Ibu belum membayar iuran RT? Tunggu, tunggu! Atau Ibu punya hutang pada Pak RT yang tidak diketahuinya? Ah,ya! Pasti Ibu punya hutang nih! Bukankah beberapa Minggu ini warung sepi pembeli? Jangan-jangan Pak RT mau menagih hutang. Waduh, bagaimana ini?

  ( Bersambung )


Cikarang, 210222





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik