RAHASIA KECIL


 Rahasia Kecil

Oleh : Lidwina Ro


   Malam Jumat adalah salah satu malam yang selalu ingin aku hindari. Bukan karena -konon katanya- setan demit lebih suka berkeliaran di malam tersebut. Sama sekali bukan itu. Bukan.

   Malam Jumat membuatku jengkel dan sedikit tersiksa karena Bapak selalu menyuruhku pergi ke rumah Pak Darto. Bukan karena rumah Pak Darto agak terlihat seram saking banyaknya pohon beringin di depan rumahnya. Bukan itu juga, meskipun aku ya agak malas juga, sih, melintasi pohon-pohon beringin besar itu waktu malam. Entah mengapa -konon katanya-  menurut orang pohon beringin memang kelihatan mempunyai aura magis. Tempat setan demit tinggal. 

   Semua itu bukan alasan utama mengapa aku ingin absen dari pandangan mata Bapak. Semua karena Bapak selalu menyuruhku berbohong pada Ibu. Mau kabur menghindari bapak ke mana aku, pada malam jumat nanti? Ibu pasti juga tidak akan mengizinkan aku malam-malam pergi ke rumah Nono, temanku sebelah rumah.

   Aku seperti terjepit di antara pilihan sulit. 

   “Budi, belikan Bapak rokok, Nak. Di warung Mbah Dipo,” 

   Dengan satu tangannya, Bapak menyuruhku mendekat. Ibu yang sedang asyik menonton  sinetron, hanya menoleh sekilas, lalu menatap layar TV kembali. 

   Warung Mbah Dipo memang dekat dengan rumah Pak Darto. Aku sudah tahu maksud Bapak mengapa menyuruhku membeli rokok. Tidak ada alasan lagi untuk menghindar. Aku terpaksa menghampiri Bapak dengan sedikit cemberut. Seperti biasa Bapak tersenyum, memberi uang untuk membeli rokok. Seperti malam-malam jumat sebelumnya, selalu ada yang lain, yaitu secarik kertas terlipat kecil dan rapi dibungkus uang.

    “Sekalian ke Pak Darto ya, Bud, kasih saja kertas ini,” bisik Bapak sambil melirik Ibu, yang masih serius menonton sinetron. Jelas sekali Bapak tidak mau ketahuan Ibu.

   “Awas, jangan kamu beri tahu Ibu,” imbuh Bapak. Bapak lalu menyelipkan uang jajan di saku celana kiriku. Biasa, itu uang suap dari Bapak! Paling-paling hanya cukup untuk beli dua buah roti dua ribuan. Ah, Bapak memang pelit!

***

   Kertas kecil yang terlipat rapi itu isinya serangkaian angka berjumlah tiga angka yang tak jelas. Tersusun beberapa baris  ke bawah dengan angka yang acak. Bervariatif. Hampir seperti penjumlahan matematika di sekolah. Aku tidak pernah mengerti, bagaimana Bapak menjumlahkannya sehingga menemukan hasil angka tersebut, yang -konon katanya- dapat melipat gandakan uang, jika bernasib baik tentu saja. Alias beruntung!

   Sepertinya Bapak mahir dalam penjumlahan. Tetapi anehnya, jika aku kesulitan dengan PR matematika, Bapak selalu menyuruh Paman Dedi untuk mengajariku.

   ***

   Pak Darto seperti biasa cekatan menyalin angka-angka yang ditulis Bapak, pada kertas kecil miliknya, lalu melipat rapi kembali, sama persis seperti yang Bapak lakukan. 

   Pak Darto menyerahkan kertas kecil itu padaku dengan hati-hati disaksikan lampu rumahnya yang temaram. 

   “Simpan baik-baik, jangan ketahuan Ibumu.”  Ih! Aku kesal mendengarnya. Aku segera pulang, melintasi jajaran pohon beringin di halaman Pak Darto dengan sedikit senewen.

***

   “Persediaan beras kita hampir habis, Pak.” 

   Aku mendengar ibu melapor pada Bapak di suatu sore. Ibuku, wanita yang tidak banyak bicara, juga tidak banyak bertanya. Dan tidak banyak menuntut. Ibu menjalankan perannya sebagai Ibu dengan sempurna. Bangun paling pagi dan tidur paling malam. Ibu sangat rajin, meskipun nyaris tidak ada barang berharga di dalam rumah, tetapi Ibu rajin bersih-bersih, merapikan dan membuat segalanya menjadi nyaman, enak dipandang mata. Masakan Ibu selalu enak. Ibu juga sering membuat camilan di sore hari. Mungkin aku adalah anak yang paling berbahagia di dunia ini. Tapi Bapak .... Arghh! Seperti bumi dan langit bila dibandingkan dengan Ibu.

 (Bersambung)


Cikarang, 230222


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik