MANUSIA BIASA (2)


  Oleh : Lidwina Ro


   "Ini aku juga baru saja cari jalan keluar.” Dini tersenyum, ada secercah cahaya kecil memantul dalam matanya.

   “Sudah menemukan dokter yang bagus? Dokter siapa?” Aku menaikkan alis, antusias.

   “Bukan menemukan dokter, Tih, tapi aku barusan ke situ tadi ... ke rumah Mbah Bejo,” bisik Dini, dan dia terkekeh saat melihat raut wajahku langsung berubah keruh seperti air kobokan.

   “Kok Mbah Bejo, Din?” desahku lirih, tak percaya kalau Mbah Bejo adalah alternatif dari masalah Dini. Aku cemberut. Tidak mengira lulusan sekolah farmasi seperti Dini, masih bisa percaya pada urusan klenik untuk membuat dirinya hamil. Ah, aneh sekali rasanya.

 ***

   Sejak Dini memutuskan untuk berobat pada Mbah Bejo, entah mengapa aku semakin gelisah. Bagaimana mungkin Dini bisa percaya dengan segala ramuan dan jampi-jampi Mbah Bejo? Setiap kali aku melewati rumah Mbah Bejo, hatiku makin lama semakin jengkel karena tidak terima.

     Entah dari mana Mbah Bejo mendapatkan semua  ilmu menyembuhkan itu. Hasil bertapa di hutan kah? Atau mencarinya di goa yang angker-angker seperti acara di TV itu?Dengan bantuan siapa Mbah Bejo bisa menyembuhkan pasiennya?Pastinya bukan karena Mbah Bejo punya keahlian di bidang medis, bukan?

 ***

   “Tih, kamu mengintip siapa?” Ibu mengguncang bahuku dengan lembut, lalu membawaku menjauh dari jendela. Aku menarik napas panjang. 

   “Aku masih heran sama Dini, Bu. Mengapa dia mau percaya saja kalau Mbah Bejo bisa membuat keajaiban menjadikan dia bisa hamil.”

   Ibu tersenyum.

   “Semua orang pasti mempunyai kesulitan sendiri-sendiri. Tetapi ingat, Tih. Tuhan tidak pernah memberi ujian yang melebihi batas kemampuan kita. Seperti begini, masak iya Tuhan akan memberi kita soal ujian SMA padahal kita masih SD? Tidak mungkin itu, Tih! Jadi tetap berusaha dan percaya, semua diizinkan Tuhan dengan alasan untuk kebaikan kita meskipun kita belum bisa  melihat dengan jernih sekarang. Begitulah kita harus memandang masalah. Tidak usah berlebihan takut. Berusaha tenang. Sering kali masalah datang, hanya karena Tuhan ingin melihat, seberapa taat kita melakukan perintah-Nya. Jadi jangan mengambil jalan pintas.” 

   Aku mengangguk, setuju dengan ucapan Ibu.

  ***

   Wow! Apa ini? Aku melongo, sedikit heran. Mataku melotot tak percaya melihat seseorang di depanku. Berkali-kali aku mengedipkan mata, tetapi wanita gemuk yang aku kenal ini, tetap saja berdiri di depanku. Hanya dibatasi oleh sekat kaca, tempat penerimaan obat di apotek.

   Aku membaca sekali lagi nama yang tertulis di atas plastik klip obat dalam genggamanku. Bejo. Apa benar ini Mbah Bejo tetanggaku?

   “Bu Bejo ....” Suaraku tiba-tiba parau. Wanita gemuk itu mengangguk, menatapku dengan wajah pucat, seperti kurang tidur.

   “Mbah Bejo yang sakit, Bu?” Oh, bodohnya aku, masih saja menanyakan pertanyaan konyol pada istri Mbah Bejo.

   “Iya, Mbak Ratih. Mbah Bejo masuk rumah sakit semalam. Kena serangan jantung.”

   Aku segera menjelaskan beberapa aturan minum obat jantung tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, istri Mbah Bejo langsung bergegas pergi membawa satu kantung keresek berisi obat, menuju kamar perawatan Mbah Bejo.

   Aku pun tertegun. Menatap istri Mbah Bejo sampai hilang di tikungan kamar VIP rumah sakit, dengan seribu pertanyaan yang mulai menggelitik,  menjejali otakku. 

   Kalau banyak pasien bisa Mbah Bejo sembuhkan, lalu  mengapa ketika Mbah Bejo sakit, dia masih membutuhkan dokter? Apakah jampi-jampi buatannya luntur khasiatnya? Tidak mempan dikonsumsi sendiri? Atau Mbah Bejo lupa merapal mantra? Jadi, kali ini pergi kemana semua kesaktian Mbah Bejo? Apakah Mbah Bejo masih mumpuni? Bukankah ini berarti sebuah indikasi bahwa Mbah Bejo juga manusia biasa? Sungguh aku tak mengerti. 

   Ah, aku harus menelepon Dini. Mungkin dia belum tahu kalau Mbah Bejo masuk rumah sakit. Mungkin sementara ini, Dini tidak bisa berkunjung ke rumah Mbah Bejo dalam waktu dekat.

(Selesai)

 Cikarang, 260222



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik