CINTA SEMU (8)


 CINTA SEMU (8)

Oleh : Lidwina Ro


     Kali ini Amel yang tak sabar menunggu Rey. Berkali-kali gadis itu menengok ke arah jalan, berharap Rey segera muncul seperti biasa. Ada banyak pertanyaan yang menggelitik hati Amel setelah kemarin, tanpa sengaja Tante Dewinta membahas bicara tentang cincin pertunangan. Semalaman Amel gelisah tidak bisa tidur. Kalimat Tante Dewinta menjadi beban pikirannya.

    “Akhirnya cincin ini berada di tangan pemiliknya. Tante lega, Amel.”

    “Apa maksud Tante?”

    “Tante masih ingat saat pertama kali Rey membelinya. Rey begitu bahagia dan menunjukkan cincin ini pada Tante.”

    “Lalu ... lalu apa yang terjadi?”

    Senyum Tante Dewinta lalu perlahan memudar dan berubah menjadi senyuman yang menantikan kepedihan. Wajahnya kehilangan seri saat tangannya menggenggam jari Amel kemarin. 

    “Karena Rey amat menyayangi adiknya Reza, jadi dia dengan berat hati melepasmu untuk Reza.”

    Amel seketika seperti di sengat kala. Matanya nanar menatap Tante Dewinta tanpa berkedip. Tangannya berubah dingin dalam genggaman wanita paruh baya itu. Oh, ya, Tuhan ... jadi ternyata Rey dan Reza sama-sama mempunyai perasaan padanya? Oh, tidak! Mengapa Amel tidak tahu apa-apa tentang ini?

    Tante Dewinta mengangguk, membenarkan apa yang terlintas di benak Amel. 

    “Tante minta maaf sekali lagi untuk kesalahan Reza, ya, Sayang,” bisik Tante Dewinta sambil mengecup kedua pipi Amel dengan penuh kasih.

    “Tante percaya, Rey nanti yang akan menyembuhkan luka hatimu. Percayalah pada Tante, Rey tidak seburuk penampilan luarnya. Dia pekerja keras dan yang penting ... Rey sudah menyayangimu sejak lama.”

    Amel menarik nafas panjang. Kalimat panjang Tante Dewinta sungguh di luar dugaannya. Bagaimana mungkin hal sebesar ini dirinya sampai tidak tahu? 

    “Mel? Mau pulang apa tidak?”

    Amel tersentak kaget. Lamunannya langsung lenyap menguap karena kedatangan Rey.

    Lelaki itu menatap dengan jahil, seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. 

    “Malah bengong di situ. Kau mau pulang apa tidak?” senyum Rey sambil menarik tangan Amel untuk segera mengikutinya.

    “Eh, tunggu Rey, tunggu dulu.”

    Rey tidak menghentikan langkah, masih menarik lengan Amel untuk tetap berjalan, sambil melirik arlojinya sekilas. 

    “A-apa kau sibuk, Rey?”

    “Sedikit. Aku harus kembali ke kantor sebentar lagi. Kau mau makan apa?”

    Amel menggeleng. Keinginannya untuk bertanya menjadi surut. Ah, ya! Dia harus ingat, Rey adalah pekerja keras seperti kata Tante Dewinta. Lagi pula Rey adalah penerus bisnis keluarganya.

    “Mel? Temani aku makan dulu, oke? Apa ada masalah di kampus?  Wajahmu kelihatan kusut.”

    Amel menarik lengan Rey pelan, mencoba menghentikan langkah lelaki itu. Melihat wajah Amel yang serius, Rey mengalah dan berhenti.

    “Ada apa, Mel?”

    “Cincin itu ....”

    “My God, Amel. Kau belum puas bicara tentang cincin itu. Apa yang ingin kau tanyakan?” 

    Mata Amel tiba-tiba berembun. Tidak tahu mengapa, dadanya sesak menatap Rey yang selalu membisu dan bersikap seolah tidak ada apa-apa.

    “Benarkah kau sudah lama membelinya untuk aku?”

    Rey sejenak diam, setelah menyadari arah pembicaraan Amel, dia lalu mengangguk dalam. 

    “Maafkan kalau aku selalu mencintaimu, Mel. Maafkan aku.”

    Amel menatap mata yang sedih terbalut senyum itu. Sepasang mata yang sudah lama menderita. Entah mengapa Rey masih bertahan sejauh ini. Apa sesungguhnya yang ada di dalam kepala Rey? Apa yang Rey harapkan darinya? Apa yang Rey lihat pada dirinya? Sudah tidak waras kah Rey?

  ***

(Bersambung)


Cikarang, 140222

    


    



    

    

    





    






Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik