Cinta Semu (9 )


 CINTA SEMU (9)

Oleh : Lidwina Ro


    Tidak seperti biasa, kali ini Amel dengan cepat  menghabiskan sepiring nasi soto Betawi. Bukan karena takut Rey selalu mengejeknya bertubuh seperti papan karena malas makan. Tetapi karena Rey berjanji akan menjawab semua pertanyaan Amel setelah makan siang.

    Diam- diam Amel menatap Rey. Wajah yang sama persis dengan lelaki pemilik hatinya. Dulu. 

    Keningnya. Hidungnya. Mulutnya. Tubuhnya. Mereka berdua hampir memiliki semua persamaan, kecuali aura dari sinar mata. Mata Reza lebih tenang dan serius. Sedangkan mata Rey begitu jahil dan santai. Reza amat perhatian, sedang Rey amat selengekan, suka menggoda. Mungkin karena itu, Amel lebih suka bermain dan mengikuti Reza ke mana saja daripada meladeni gurau dan kejahilan Rey.

    Bersama Reza semua terasa nyaman dan menyenangkan. Sampai suatu hari ada gadis lain yang juga merasa nyaman berdekatan dengan Reza. Jarak yang jauh membuat Amel kalah langkah. Atau karena jalinan kasih antara dirinya dan Reza tidak sekuat yang mereka kira? 

    Ah, entahlah. Semua terjadi begitu cepat, dan Amel mau tidak mau harus menyerah kalah saat Reza harus memilih gadis itu. Yang tertinggal pada diri Amel akhirnya hanya luka hati menganga yang sulit untuk sembuh kembali. 

    Lalu ... bagaimana dengan Rey? Mampukah Rey menerima apa yang menjadi pikirannya?

    “Apa yang ingin kau bicarakan, Mel? Wajahmu kelihatannya serius.” 

    Amel bergerak gelisah dalam duduknya, sementara Rey menatap lurus ke arah Amel dengan sikap santai. Setelah mematikan ponselnya dan menaruh di meja, Rey memajukan wajahnya dan mengangkat alis tinggi-tinggi, mencoba jahil.

    “Aku sudah mematikan handphone. Ayo, bicaralah.”

    Amel menarik nafas, mencoba mengatur irama jantungnya yang mulai eror.

    “Jangan bahas cincin itu lagi, please,” imbuh Rey mengingatkan.

    “Rey, pertunangan itu ....”

    Mata Rey langsung menyipit mendengar kalimat pertama Amel. Lelaki itu lantas memperbaiki sikap duduknya. Kedua bola mata Rey seolah tetap tersenyum, menatap lekat pada Amel yang mulai bingung meneruskan dialog. Amel menelan ludah.

    “Kenapa dengan pertunangan kita, Mel?”

    “Aku rasa ... aku rasa ini tidak adil buatmu, Rey.” Hati-hati Amel mengeja kata. Rey langsung menanggapinya dengan senyum kecil.

    “Baik sekali kau, Mel. Memperhatikanku sampai sejauh itu. Apa ini bukan awal yang baik buat kita?” sindir Rey.

    Mata Amel melotot. Lihat, Rey malah berpikiran aneh! 

    “Rey, maksudku bukan itu.”

    “Baiklah, aku tahu maksudmu. Oke. Kenapa tidak adil buatku? Apa yang kau pikirkan?”

    “Tidak adil buatmu, karena perasaan kita tidak ... tidak sama, Rey. ”

    “Lalu?”

    “Lalu katamu? Lalu bukankah sama saja aku menghancurkan hidupmu? Aku takut Rey.”

    Sesaat mereka terdiam. Hanyut oleh pemikiran mereka sendiri-sendiri. Pemikiran dengan niat dan keinginan mereka masing-masing. Setelah apa yang sudah mereka alami, sebuah dinding pemisah tak kasat mata tegak berdiri menghalangi.

    “Aku akan mengambil resiko, Mel.”

    “Tapi, Rey ....” 

    “Aku yang akan menanggung semua nanti, Mel. Setidaknya izinkan aku membuatmu bahagia.”

    Amel tertegun. Menatap Rey dengan ragu. Tak bisa mencegah rasa pedih dan haru yang menyelinap bersamaan dalam relung hatinya paling dalam.

    “Tapi Rey, aku, aku ....”

    “Tidak masalah jika kau belum ada rasa. Biarkan saja apa adanya. Tidak usah kau apa-apakan. Aku ahlinya menunggu.”

    Setan betul Rey! Amel mengumpat dalam hati karena tidak bisa mencegah hatinya untuk tidak teraduk-aduk. 

    Jadi inikah model cinta yang dimiliki Rey? Lelaki yang sengaja membiarkan dirinya membisu sepanjang waktu, dan menunggu dalam diam harapan cinta semu?

    Bernyalikah Amel memberi cinta semu pada lelaki yang tangguh menunggu ini?

    “Rey, aku takut.”

    Rey meraih jemari Amel dan menggenggam lembut, seolah memberi kekuatan baru untuk gadis itu.

    “Tidak tahukah kau, Mel. Bisa membuatmu tersenyum saja, itu sudah cukup bagiku. Melihatmu setiap hari ada di dekatku, aku sudah tenang. Jangan pikirkan hal lain untukku selain berilah aku kesempatan. Aku tidak sesulit yang kau bayangkan.  Jangan takut. Semua ini adil.”

    “Rey.” Amel benar-benar menangis sekarang. 

    “Beri aku kesempatan, Mel.”

    Dalam isak tangis yang lirih, Amel mengangguk samar. Menyerahkan semua ragu dan luka hatinya pada sebuah kesempatan baru. Mungkin hari esok adalah milik mereka berdua. Setidaknya, kalau sekali lagi Amel harus jatuh, dirinya terjatuh dalam tangan yang akan menggenggamnya erat. 

(Tamat)

 Cikarang, 150222


    

    



    




    

    

     



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik