MANUSIA BIASA


 MANUSIA BIASA

Oleh : Lidwina Ro


   Mbah Bejo adalah orang pintar di kampungku. Semua warga di kampung ini pasti sudah mengenal siapa dia. Bahkan anak-anak kecil pun tahu, dimana rumah Mbah Bejo. Lelaki paruh baya dengan perawakan tinggi kurus dan murah senyum itu tinggal di sebuah rumah yang cukup besar, tidak jauh dari lapangan, dekat rumahku.

   Sudah lama aku mengamati rumah Mbah Bejo. Seperti detektif gadungan, diam-diam aku sering mengintip dari balik gorden. Ya, kebetulan saja rumahku juga tidak jauh dari rumah Mbah Bejo. Jadi mudah bagiku untuk memperhatikan siapa saja yang keluar masuk ke rumah Mbah Bejo. Setiap hari selalu saja ada tamu yang datang ke rumah Mbah Bejo. Ada yang datang dengan naik sepeda motor. Tetapi banyak juga yang naik mobil. Ini pertanda bahwa jasa Mbah Bejo mulai diperhitungkan dan bahkan diakui oleh banyak orang. Buktinya orang dari luar kota saja sampai datang memerlukan jasa Mbah Bejo. Itu mudah aku ketahui ketika pulang dari kerja, aku sempat melirik pelat mobil pasien yang berjajar di depan rumah Mbah Bejo.

   Hm, Mbah Bejo ternyata sakti juga. Ilmunya mumpuni. Aku tersenyum-senyum sendiri sambil menuntun motorku ke teras rumah. Entah jampi-jampi apa yang diberikan sehingga banyak pasien yang tertolong. Dari sakit penyakit, guna-guna, dan santet, Mbah Bejo adalah jagonya. 

   “Baru pulang, Tih?”

   Mataku melebar senang melihat Dini, teman sebangku masa sekolahku mampir. Sahabatku.

   “Eh, Din! Tumben! Lama menungguku? Ke mana saja kau ini?” 

   “Tidak ke mana-mana,” sahut Dini tersenyum kecil. Setelah mencuci tangan dengan sabun di kran dekat taman, aku langsung bergabung di teras. Sepiring pisang goreng dan segelas teh hangat tersaji di meja. Hm, pasti itu pisang goreng buatan ibu. Aku segera melahapnya satu biji dalam hitungan detik. Perutku terasa hangat dan nyaman setelah menelan sebuah pisang goreng. Baru aku menoleh pada Dini.

   Wajah Dini tampak lebih kurus dari biasanya. Sepasang matanya juga agak cekung, tidak segar dan tidak ceria seperti biasanya. Seperti ada beban yang terpendam rapat. Ada apa dengan Dini, ya? 

   Meskipun aroma obat-obatan masih melekat di baju seragam dinas, tapi aku enggan mandi dulu. Aku menatap Dini lama, mencoba mengorek sesuatu dalam kedua bola mata yang sendu itu. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi pada rumah tangganya. Dini dulu pernah bercerita, ibu mertuanya tak sabar ingin segera menimang cucu.

   “Apa ada masalah lagi dengan suamimu, Din?” tanyaku menebak.

   Setelah lulus sekolah farmasi, Dini memang langsung menikah. Sedangkan aku lebih memilih bekerja di apotek. Meskipun begitu, kami tetap akrab, karena aku dan Dini sudah bersahabat lama, dan lagi kami masih satu kampung. Sebagai pasangan sahabat, Dini sering curhat apa saja padaku.

   “Aku belum juga hamil, Tih.”

   Ah, itu lagi masalahnya. Pasti Dini mulai diusik oleh keluarga besar suaminya, terutama mertua perempuan. Padahal pernikahannya juga masih dua tahunan. Memangnya menciptakan anak adalah domain manusia apa? Huh! Kuno sekali cara pemikiran mereka.

   “Mas Aldi akan menikah lagi kalau aku belum juga hamil,” ujar Dini dengan suara bergetar dan tertunduk lesu.

   Aku langsung tersedak. Pisang goreng dalam mulutku seolah bercampur paku. Menyangkut di tenggorokan. Buru-buru Dini menyodorkan teh yang belum sempat diminumnya.

   Sambil meredakan batuk, aku mengurut dadaku yang tiba-tiba sesak. Segelas teh tidak mempan menindas rasa jengkel dan kasihan yang menyesakkan dada.

   Duh, bagaimana ini? Bukankah seharusnya terus berupaya agar Dini mendapat dokter yang lebih bagus atau pengobatan alternatif, eh, malah Aldi mau mengejar kenikmatan yang lain, yaitu kawin lagi. Enteng sekali menyelesaikan sebuah masalah keluarga. Apa perasaan istri tidak termasuk dalam perhitungan sebuah perkawinan?

   “Cari jalan keluar yang lain dulu, Din!  Memangnya kamu mau saja dimadu?!” gerutuku mulai geram.

(Bersambung)
Cikarang, 250222

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik