LAGU CINTA


 LAGU CINTA 

Oleh : Lidwina Ro


    Bau semerbak wangi parfum yang familier tercium oleh Budi. Seketika hati Budi mendadak dongkol. Asem, pasti itu ulah Joko! Tidak kapok juga dia memakai parfum orang!

    Dan benar saja. Budi melihat Joko yang sedang bernyanyi lagu cinta, sedang mengaca. Sudah mandi rupanya. Memakai kemeja kotak-kotak biru, dan bercelana jeans biru pula. Rambut tersisir rapi. Menambah wajah tampannya semakin bersinar. Memang tak salah kalau Joko menjadi incaran siswi di SMA mereka. Tapi parfum itu...

    “Sudah jangan cemberut, nanti aku ganti baru parfummu kalau uang bulananku dikirim bulan depan,” Joko terkekeh melihat wajah Budi yang kesal.

    “Dari bulan lalu omonganmu selalu sama. Makanya jangan kauhabiskan jatah uangmu untuk mengajak nonton bioskop pacar-pacarmu yang tidak jelas itu!” sahut Budi ketus.

    Joko tertawa gelak, dia segera merangkul Budi. Teman satu kost yang bawel, tapi perhatian. 

    “Yang ini beda, Bud. Tasya harus kutaklukkan kali ini. Aku sudah janji mau datang kerumahnya. Dan aku janji padamu, Tasya yang terakhir, Bud!”

     “Terakhir gundulmu Jok. Itu juga janjimu bulan lalu!”

    Berdua mereka tertawa ngakak. Budi tidak pernah mengerti, mengapa gadis-gadis cantik itu mau saja dengan janji gombal Joko. Seperti sudah tidak ada lelaki berkualitas saja di muka bumi ini.

***

   Joko mematikan mesin motor. Sejenak dia melongo melihat rumah super mewah itu. Heh? Benarkah ini rumah Tasya? Setajir inikah Tasya? Joko mengeluarkan handphone, mencoba melihat WA sekali lagi. Apa benar ini alamat yang diberikan Tasya tadi pagi? 

    Ah, busyet dah! Ternyata alamat sudah benar! Jadi selama ini dia naksir tuan putri dari keluarga konglomerat atau bagaimana?! Waduh!! Bisa celaka dua belas kalau calon mertuanya tahu sesungguhnya dia hanya anak penjual nasi goreng!

    Asem, asem... Bisa kandas asmara yang baru akan dia bina ini. Bisa nyungsep! Mana mungkin orang tua Tasya menyetujui hubungan mereka ke depan kalau mereka tahu keadaan ekonominya? Joko mulai gerah. Terbayang wajah cantik Tasya yang manis manja, bergantian dengan  wajah bapaknya sendiri yang berkeringat, sedang membolak balik nasi goreng di wajan besar dengan arang membara!

    Arggg... Sudah, sudah!  Joko menghalau bayangan mengerikan tersebut. Dia memberanikan diri mendorong pintu gerbang yang sedikit terbuka itu, setelah ketukannya pada gerbang besi, tidak ada yang merespons.

Mata Joko membelalak melihat halaman depan rumah Tasya. Air mancur bulat luas, dengan ikan koi besar berwarna warni. Dihiasi dua patung dewa Yunani yang artistik. Di sudut halaman, terjajar rapi puluhan bunga anggrek yang Joko yakin seribu persen, pasti bukan anggrek murahan. Belum lagi gazebo indah yang...

    “Mencari siapa ya, mas ?”

    Joko tersentak kaget. Matanya mencari suara yang tiba-tiba memutus kekagumannya pada isi halaman rumah Tasya. Owalaah! Ternyata suara tukang kebun Tasya. 

    Joko tersenyum kecil, sedikit lega. Matanya menangkap sosok lelaki setengah baya bertubuh gempal pendek, bersandal jepit, dan berkaus oblong putih penuh noda tanah. Kelihatannya tukang kebun itu sedang sibuk menanam bunga mawar di sudut lain halaman itu. Joko lalu mendekatinya.

    “Anu pak, saya teman sekolah Tasya. Bisa panggilkan Tasya, Pak?”

     Sambil melepas jaket, pandangan Joko masih mengedar ke seluruh penjuru halaman. Wah, kalau halamannya saja sudah seperti halaman istana raja, apalagi isi rumahnya! Kalau si Budi tahu rumah Tasya, bisa-bisa pingsan dia. Merasa penasaran, Joko mencari info.

    “Stt, pak, kerja dimana bapaknya Tasya sampai bisa sekaya ini? Pejabat ya pak?” 

    Tukang kebun itu menoleh ke arah Joko, lalu terkekeh kecil. Dia berdiri, meninggalkan sekop dan bunga mawar yang beberapa belum sempat ditanam, keburu ada tamu.   Lalu mencuci tangannya yang kotor penuh tanah dan pupuk 

    “Krasan kerja di sini ya pak?” celutuk Joko, sementara matanya masih mengagumi isi halaman rumah Tasya.

    Si tukang kebun menoleh, memperlebar senyumnya.

     “Pasti gajinya gede ya pak jadi tukang kebun disini,” alis Joko bergerak-gerak ke atas, menggoda tukang kebun Tasya.

    Belum sempat tukang kebun itu menjawab, pintu rumah mewah terbuka dari dalam. Alamak, besar sekali daun pintu penuh ukiran itu!

    Seraut wajah cantik tersembul dari balik pintu. Joko menahan nafas melihat sang pujaan hati muncul. Hatinya berdebar-debar keras, seperti mau terjun bebas ke awan.

     “Lho, mas Joko sudah datang, ya.”

    Joko tersenyum, dia menghampiri Tasya yang pipinya sudah merona merah. Kalau saja tukang kebun itu tidak di sini, pasti sudah dibelainya pipi Tasya. Huh! Mengganggu saja!

     “Kenapa tidak masuk sih, mas? Pasti ngobrol dulu dengan papa, ya...”

    Ha? Pa ... Papa?? Duuuarrrr!

     Joko seperti dilempar granat. Wajahnya pucat pasi sambil menatap Tasya dengan kedua mata membelalak. Lidah seakan kaku, dan kakinya sulit bergerak, seperti  kena stroke mendadak.

     “Masuk, yuk, mas. Jangan ganggu Papa berkebun.”

    Walah ... walah! Jadi tukang kebun itu adalah ...

    Hati Joko masih berdebar keras. Bahkan berlipat-lipat lebih keras dari semula. Tapi kali ini seperti terjun bebas ke dalam jurang gelap yang paling dalam. Lagu cintanya seketika sumbang. Sembrono kau Joko! Mampus kau Joko!  Anak durhaka kau Joko! Makanya jangan sembrono menilai orang dari luar! Hardik hatinya dengan gencar.

    Joko mencoba memutar lehernya dengan susah payah ke arah si tukang kebun. Dan si tukang kebun balas menatap sambil mengusap-usap kumis tebalnya. Mungkin hanya Joko bisa menaksir arti tatapan si tukang kebun! 

    Sebuah lagu cinta berdengung di telinga Joko. ... just say good bye for my doughter ! 


 

 Cikarang, 170222











Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik