RAHASIA KECIL (2)


RAHASIA KECIL

Oleh : Lidwina Ro



 Aku tidak mengerti, mengapa Bapak selalu membohongi Ibu setiap malam Jumat dengan membeli nomor togel? Apakah Bapak tidak menyayangi Ibu lagi? Aku gelisah bukan main. Mau mengadu pada Ibu, tapi takut Ibu malah sedih atas kelakuan Bapak yang tidak terpuji.

***

   Setelah meletakkan seragam putih biruku di ember dekat sumur dan mengganti baju, aku bergegas mencuci tangan. Tumben Ibu menungguku di meja makan. Senyum Ibu begitu sumringah, tangannya merangkul bahuku dan menyuruh segera duduk di kursi makan rotan usang yang sudah mulai reyot.

   “Lihat, Bud. Ibu masak opor ayam kesukaanmu. Hayo, cepat makan selagi nasi hangat.”

   Hah? Opor ayam? Aku terbelalak kaget. Antara senang dan bingung. Bukankah baru kemarin, Ibu bilang tak punya beras? Bahkan sampai tadi pagi, perutku hanya terisi singkong rebus karena hanya itu yang tersisa di kebun. Lalu aku teringat ayam jagoku. Jangan-jangan Ibu mengeksekusi ayamku?

   “Apa ... apa ini ayam jagoku, Bu?” tanyaku hati-hati dengan jantung berdebar dan cemas.

   Ibu terkekeh sambil memeluk bahuku gemas. Ibu lalu menjitak kepalaku dengan lembut.

   “Hus! Tentu saja bukan,  Bud! Bapakmu itu lho, dapat rejeki hari ini.”

   Semula hatiku yang lega karena bukan ayam jagoku yang di bantai Ibu, mendadak hatiku langsung menciut. Tunggu, tunggu! Apa yang Ibu bilang tadi? Bapak dapat rejeki?

   “Apa maksud Bapak dapat rejeki? Memangnya Bapak dapat kerjaan baru atau apa, Bu?” Dan mataku tiba-tiba menangkap seuntai kalung tipis di leher Ibu. Hah? Kalung emas kah itu? Emas asli?

   Melihat aku melongo, Ibu segera tersenyum lebar, lalu meraba-raba benda yang melingkari lehernya dengan mata bersinar. Ibuku tampak lebih cantik dengan mata yang bersinar bahagia itu. Sungguh aku baru sadar, saat ibu tersenyum lebar, seperti ada pelangi terpantul di kedua bola matanya. Sungguh indah. Seperti membawa hatiku ke taman bunga dengan seribu kupu-kupu. Sesaat aku pun hanyut dalam kebahagiaan Ibu.

   “Bagus tidak, Bud?”

   Aku hanya mengangguk. Tidak berani bilang tidak. Takut melihat pelangi di mata Ibu akan lenyap dan menguap. Selanjutnya aku hanya bisa diam termangu. Menatap Ibu yang bahagia dan sesekali mematut diri di depan cermin.

***

   “Nomor Bapak kemarin tembus, Budi,” bisik Bapak selepas Bapak pulang dari proyek. Bapakku adalah seorang mandor bangunan yang tidak tetap penghasilannya. Aku menatap Bapak tanpa ekspresi.

   “Bapak menyayangi ibumu, Bud. Sudah lama Bapak sebenarnya ingin membahagiakan ibumu. Tapi Bapak tidak mampu. Kau tahu sendiri bagaimana kondisi pekerjaan Bapak selama pandemi ini. Meskipun hidup susah bersama Bapak, ibumu tak pernah mengeluh sepatah kata pun. Biar Bapak kali ini membuat ibumu senang sedikit, ya? Kasihan Ibumu.”

   “Tapi, Pak ....”

   “Bapak tahu cara Bapak salah,” potong Bapak sambil menarikku lembut masuk ke dalam pelukannya. 

   “Maafkan Bapak kali ini, ya, Bud?”

   “Bapak tidak akan menyuruhku di malam Jumat lagi, kan? Dosa itu, Pak main togel,” desakku dengan suara parau. Entah mengapa mataku menjadi kabur dipenuhi air mata. Tetapi hatiku juga perlahan menjadi hangat, ketika mengetahui kalau Bapak sebenarnya hanya berniat ingin menyenangkan Ibu saja. Dengan cara Bapak sendiri tentu saja. Cara yang salah. Cara yang tidak pernah aku pahami, dari sebelah mana sisi baiknya.

   Bapak tertawa kecil. Terdengar agak parau. Mungkin Bapak sedang menahan tangis juga seperti aku. Hati Bapak mungkin juga hancur, terdesak dalam pilihan sulit. Aku memejamkan mata, merasakan rengkuhan Bapak yang semakin erat. Semoga Bapak sudah insaf. Sementara rahasia kecil ini, rahasia malam Jumat tanpa setan demit ini, biarlah hanya aku dan Bapak yang tahu.

  (Selesai)

 Cikarang, 240222









Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik