DASTER DAN GAMIS


 Daster dan Gamis

Oleh : Lidwina Ro


    Aroma secangkir kopi panas yang harum membuat Budi menoleh, meninggalkan sejenak berita di Metro. Sebenarnya dia juga tidak menyimak sungguh-sungguh berita di TV. Sejak pulang dari kerja, kepalanya agak pusing karena mendengar issue di pabrik tadi. Ah, semoga berita itu tidak benar.

   Istrinya Menik datang menghampiri, mengambil duduk di sebelahnya. Wajahnya tampak berseri dan segar. Menik tersenyum manis sambil memegang sepiring camilan.

    Hm, bukan sembarang camilan. Bukan singkong goreng atau pisang rebus seperti biasanya. Tetapi sore ini istimewa sekali. Irisannya tebal cokelat, dan mengundang lapar. Sepiring bolu! Bukannya senang, Budi malah curiga.

    “Dicicipi bolunya, Mas.”

    “Tumben,” ujar Budi sambil meniup-niup kopinya. Telinganya segera bersiap-siap mendengar cerita istrinya sore ini. Kebiasaan Menik memang begitu. Selalu bercerita  kegiatannya sepanjang hari. 

    “Iya. Apa Mas tidak bosan makan singkong dan pisang rebus terus? Tapi enggak usah kuatir mas, Yayuk bilang, bolunya boleh dibayar kalau Mas sudah gajian,” sahut Menik sambil tersenyum senang. 

    Budi menghela nafas diam-diam. Itu dia. Penyakit lama sang istri yang tidak kunjung sembuh.

    “Aku tadi juga mengutang ke Yayuk, daster satu dan baju gamis satu, Mas.”

    Nah, kan? Kepala Budi rasanya tambah berat mendengar celoteh Menik. Dia menghirup kopi hitamnya cepat-cepat.

    “Malu aku, Mas kalau ke pengajian pakai baju itu itu lagi. Apa kata mereka nanti.”

    Sama seperti kopi, Budi merasa hidupnya masih sama seperti dulu. Pahit. Buruh pabrik yang tidak menentu kerja dan gajinya. Harus sering berpindah kontrakan, menyesuaikan jarak pabrik yang mau menerimanya bekerja. Supaya dia bisa cukup berjalan kaki saja menuju tempat kerjanya. Tidak perlu naik angkot. Lumayan, bisa irit. Uangnya bisa untuk tambahan belanja Menik. Budi juga belum mampu membeli sepeda motor. Ditambah dengan hadirnya pandemi. Sukses sudah paket hidupnya yang pahit.

    “Mas, kata Yayuk boleh dicicil tiga kali kok.” Menik mencoba mengambil hati suaminya yang masih tak mau bicara.

    Entah bagaimana Budi menjelaskan pada Menik. Dia hanya ingin Menik sedikit mengerti kondisi mereka akhir-akhir ini. Sebenarnya dia begitu sumpek, istrinya selalu membeli sesuatu yang kurang dibutuhkan. Sepertinya Menik selalu terpengaruh pada Yayuk, teman akrabnya untuk membeli semua dagangan yang dijajakannya! Kemarin Menik bahkan sudah kredit panci serbaguna, pemerah bibir, perona pipi dan bahkan legging! Entah sampai kapan Menik lebih mendengar dan percaya pada si Yayuk itu, daripada suaminya sendiri.

    “Mas, kamu tidak suka melihatku cantik?”

    Budi menghela nafas. Dia memandang Menik yang cemberut dengan tatapan sayang yang dalam. Meskipun cemberut dan berdaster pudar, Menik tetap paling cantik dimatanya.

    “Dari dulu aku menyayangimu apa adanya, Nik. Meskipun daster yang kau pakai hanya satu itu. Dan Allah hanya memandang kesalehan wanita dalam kesungguhan dan ketekunan doamu di pengajian. Allah tidak peduli pada  gamismu.”  

    Menik menatap Budi dengan sayang pula.  Sudah lama memang, suaminya diam dengan perilakunya yang salah. Seharusnya Menik berdiskusi dulu sebelum memutuskan untuk kredit, apa pun itu.

    “Nanti kalau aku sudah punya cukup uang, aku belikan apa yang kau inginkan. Tapi tidak sekarang. Kamu mengerti kondisi kita bukan?”

    “Maafkan aku ya, Mas. Aku akan kembalikan daster dan gamisnya ke Yayuk hari ini juga, Mas.”

    Budi hanya bisa mengangguk. Tetapi belum sepenuhnya plong lega. Karena dia belum memberitahu Menik, bahwa ada issue di pabriknya, kalau dia akan kena giliran di-PHK dalam waktu dekat ini.

  ****


Cikarang, 180222






Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik