ADINDA


 Adinda

Oleh : Lidwina Ro


Gajah biru itu seolah tersenyum simpul di sudut ranjang. Matanya yang hitam kecil itu seolah ikut menertawakan rasa letih yang terpantul di mataku, yang sudah beberapa hari sengaja kuumbar. Sekedar meluapkan rasa letih yang menyelinap diam-diam, aku mencoba menyingkap tirai jendela kamar anakku. Mencari sesuatu di antara ribuan tetesan air hujan. Sesuatu yang mungkin bisa menjadi penawar letih.

Ah! Masih pemandangan yang sama. Hujan gerimis membuat warna sore menjadi makin muram. Hanya rimbunan melati di belakang halaman depan yang menari riang. Daun-daunnya bergerak ke kiri kanan seirama dengan air hujan yang menimpa. Tampak segar dan serasi dengan kuntum-kuntum melati yang berwarna putih.

Melihat melati yang mekar itu, bayangan Adinda segera merasuk pikiranku. Tersenyum cantik dengan sebelah lesung pipit di pipi kiri. Semakin besar Adinda, aku semakin jarang melakukan pekerjaan untuknya lagi. Seolah tanggung jawabku terlepas perlahan-lahan. Ketika Adinda masih bayi, aku selalu sibuk membuat bubur dengan campuran hati, bayam, dan wortel. Atau bubur beras merah yang gurih dengan madu di atasnya. Atau juga  membuat jus jeruk kesukaannya ketika Adinda menginjak SD.

Adinda sepertinya cepat tumbuh dewasa. Waktu SMP Adinda sudah belajar naik sepeda motor. Meskipun papanya Adinda melarang, tapi Adinda bersikeras dan merayu papanya setiap hari. Lucu sekali melihat mimik jenaka Adinda kalau merayu.

Dan Mas Anang, papanya Adinda selalu mengalah pada keinginan Adinda. Seperti biasa, Mas Anang selalu meluluskan semua permintaan Adinda. Ya, siapa yang tahan menghadapi dua bola mata Adinda yang sendu pintar merayu itu?

Aku menggenggam erat tirai, dan menatap letih hujan dari balik jendela. Anganku melayang, ingin singgah sebentar saja ke masa lalu. Ingin mencium lagi aroma wangi telon Adinda, dan ... mendekap Adinda dalam kain batik gendong. Merasakan tubuh mungilnya menempel lekat di dadaku, dan menciumi lehernya sampai Adinda geli terpingkal-pingkal. Ah, sungguh jahat! Betapa jarum waktu berputar kilat!

“Mama ....”

Aku tersentak. Beberapa detik menepis bisikan hati. Tapi mataku tetap saja mencari sumber suara ke segala arah. Peganganku pada tirai bertambah erat. Sudah pulangkah Adinda dari kampus? Ah, mengapa aku tidak mendengar suara motornya tadi? 

Tak bisa menemukan suara Adinda di dalam kamar, aku buru-buru membuka jendela kamar. Angin yang bergulung lembut menyatu dengan hujan segera menyambut wajahku tanpa permisi. Dingin dengan cepat merayap ke dalam kamar menit demi menit.

Ha, itu dia! Aku melihatnya! Di dekat rumpun melati, Adinda melambai. Hm, dasar gadis sebesar itu masih saja suka bermain hujan! Aku tersenyum lega, meskipun sedikit khawatir. Takut Adinda flu. 

“Jangan main hujan, Adinda!” pekikku sambil melambaikan tangan menyuruh Adinda masuk.

“Sebentar lagi, Mama!”

Ah, sudah gadis kok masih seperti anak kecil! Aku membalikkan badan, bergegas membuka lemari Adinda dengan tergesa. Aku hapal isi lemari Adinda, karena setiap hari aku sendiri yang menata dan menyetrika bajunya. Dengan sigap aku memilih satu handuk besar berwarna kuning muda. Adinda tidak boleh sampai flu! Aku akan selalu menjaga Adinda dengan seksama dan teliti sebagai bentuk tanggung jawabku sebagai ibunya. Tidak boleh ada yang salah! 

Aku kaget ketika Mas Anang tiba-tiba menghadang langkahku. Entah kapan Mas Anang masuk ke kamar, aku benar-benar tidak mendengar langkah kakinya. Dengan lembut Mas Anang memelukku. Menatap sendu.

Aku mengurai pelukannya, dan  cepat-cepat menyeret lengan Mas Anang ke arah jendela. Ingin menunjukkan betapa gadis kesayangannya begitu bandel.

“Adinda, Mas ... dia bandel, lihat tuh, main hujan-hujanan,” aduku sambil menunjuk ke arah luar.

Mas Anang makin erat memelukku sambil mengikutiku sampai jendela. 

“Ma-mana A-Adinda, mas.” Suaraku tiba-tiba kering dan menghilang. Tersumpal dengan ribuan air mata yang  tertahan. Hatiku hancur seperti gelas kristal yang terlepas dari genggaman. Serpihannya berserakan, tertancap tajam sampai ke ulu hati. Tanganku gemetar. 

Aku menatap halaman yang kosong. Menatap nanar dedaunan melati yang masih menari seirama tetesan ribuan air hujan. Menatap ribuan tetesan hujan yang menyembunyikan sosok anak semata wayangnya. Menyembunyikannya entah dimana ....

“Kangen Adinda ya, Ma? Sama, Ma. Papa juga kangen. Besok kita ziarah, ya?” 

Mas Anang menutup jendela dengan sebelah tangannya.

Handuk kuning muda itu terlepas dari tanganku. Aku menyembunyikan kepalaku dalam dada Mas Anang. Tenggelam dalam isak tangis yang panjang di antara seruan doa.

Gajah biru, boneka kesayangan Adinda yang ada di sudut ranjang, menatap letih dalam bisu. Bosan sendiri di kamar,  menunggu Adinda yang tak pulang lagi.

Cikarang, 16 Februari 2022















Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik