BUNDEL BOBO

BUNDEL BOBO

Oleh : Lidwina Ro


    Pernah membaca cerita penyihir jahat bernama Si Sirik? Atau Juwita peri cantik berbaju hijau? Juwita selalu berhasil menggagalkan rencana jahat Si Sirik. Di akhir cerita, bisa dipastikan penyihir tua itu selalu lari tunggang langgang karena dikalahkan Juwita. 

    Atau ada yang familier dengan nama Nirmala? Iya, gadis cantik berbaju pink yang tinggal di Negeri Dongeng? Bermahkota penuh bunga, dan memiliki sebatang tongkat ajaib untuk menolong siapa pun yang perlu di tolong. 

Ya, itu semua adalah penggalan cerita dari majalah kesayanganku di masa kecil. Majalah anak-anak Bobo. Beruntung saat itu, aku masih merasakan nikmatnya berlangganan majalah Bobo. Bagiku, hari Kamis adalah hari yang istimewa, hari yang selalu aku tunggu. Aku menunggu di teras rumah dengan antusias. Karena hari itu, Pak Sastro akan berkeliling  mengayuh sepeda, mengantar majalah Bobo dari rumah ke rumah. 

   Karena hobi membaca, aku jadi punya kebiasaan membaca berulang-ulang tanpa rasa bosan. Dan aku tidak suka jika majalahku berceceran ke mana- mana karena ulah Adik yang tidak tertib mengembalikan ke tempat semula. Aku bahkan juga  bisa marah jika ada yang meminjam majalahku lalu lupa tidak mengembalikan. 

   Karena itu, Ibu berinisiatif  membundel majalah Bobo. Setiap sepuluh majalah diurut sesuai dengan nomor terbitnya, lalu dijahit tangan oleh ibu dengan rapi. Aku senang sekali karena memudahkan aku membaca secara urut.

   Menginjak remaja, aku mulai membaca majalah Hai. Lalu beralih ke majalah Gadis. Majalah Anita -yaitu kumpulan cerpen- juga salah satu yang tidak pernah aku lewatkan. Bahkan aku rela membeli Anita dengan cara patungan bersama sahabatku waktu SMP. Koplak juga kan?

   Tapi bagiku, majalah Bobo adalah yang paling spesial. Meskipun usiaku makin bertambah, aku masih tetap suka mengulang-ulang membaca bundel majalah anak-anak Bobo-ku. Cinta pertamaku ada di dalam majalah Bobo. Sampai kapan pun, aku tidak akan melupakannya.

   “Dimana bundel Bobo-ku, Bu?” tanyaku suatu hari pada Ibu.

   Ketika itu aku kebetulan pulang ke rumah Ibu di desa. Sekolah SMA ku waktu itu di luar kota, aku menumpang di rumah Bude di Malang.

   Ibu menatap heran padaku sambil tersenyum simpul. Hatiku tambah tidak enak. Tidak kutemukan bundel Bobo di tempat biasanya. Apa ada yang meminjam? Tapi siapa?

   “Sudah ibu rombeng.” 

   Jawaban ringan Ibu seperti suara petasan lebaran yang meledak di telingaku. Membuat hatiku ambyar. Berserakan.

   Aduh!! Celaka, celaka!!

   “Menuh-menuhin tempat. Kamu kan juga sudah besar, masak mau membaca majalah anak-anak lagi, sih?” sambung Ibu menahan geli.

   “Di rombeng semuanya, Bu?” pekikku panik.

   “Lha iya to. Memang ada apa? ” Ibu dengan cepat menangkap kegelisahanku.

   Aku hanya menggeleng, cepat-cepat membalikkan badan. Berusaha menahan agar air mataku yang akan tumpah ini tidak terlihat oleh ibu. Tidak mungkin aku mengaku pada ibu sekarang. Tidak mungkin! Jelas aku malu! 

   Saat ini aku hanya seorang pelajar menengah atas. Baru kelas satu pula. Lagi semangat-semangatnya bersekolah mencari masa depan. Mana berani aku bercerita pada ibu tentang kisah asmara cinta monyet selama di SMP? 

   Ibu tidak tahu, bukan bundel Bobo yang di rombeng yang membuat air mataku tumpah deras seperti air bandang. Bukan bundel Bobo. Bukan! Karena sesungguhnya aku menyelipkan semua surat- surat dari cinta pertamaku di salah satu halaman bundel Bobo! Alamak!!

 ***


Cikarang, 190222







 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik