TALI SIMPUL


 


Oleh : Lidwina Ro


   Tanpa membuka mata, aku sudah tahu siapa yang menetesi wajahku dengan air. Siapa lagi, kalau bukan Meli. Teman satu kontrakanku yang satu ini memang ratunya usil. Selalu tidak senang kalau melihat temannya senang. 

   “Masih ngantuk aku, Mel,” sungutku sambil mengubah posisi membelakanginya. Aku memeluk guling lebih erat, mencoba kembali tidur. Aku capek. Hari ini apotek tempatku bekerja sangat ramai. Hampir sembilan jam, aku berdiri melayani pasien yang datang dan pergi. Ingin tidur sebentar saja, malah datang Meli si tukang sihir. 

    “Wih, sakti kau Ra! Kamu itu tidur apa semedi? Tahu saja kalau itu aku.” Meli terkekeh sambil sekarang meraba-raba pinggang. Nah kan? Tukang sihir bener, usilnya kumat.

   Tidak tahan dengan gelitikan tangan usil Meli, aku cepat-cepat menyingkirkan tangan Meli dengan sebal.

   “Rara bangun, ada yang nyari tuh,” bisik Meli sambil meniup telingaku. Geli! Kali ini aku menyingkirkan kepala Meli dengan mendorong kepalanya jauh-jauh. Lalu menutup kepalaku dengan bantal. Meli tertawa puas. Tawa yang semringah karena berhasil menggoda aku.

   “Ra! Ayo bangun! Anak pemulung itu mencarimu!”

   Ha? Anak pemulung? Apakah Rini sudah muncul kembali? Aku seketika melempar bantal dari kepala, dengan sigap duduk di tepi ranjang.

   “Benar Rini yang datang?” desakku sambil meneliti kedua mata Meli. Khawatir Meli hanya usil.

   Meli mencibir. “Giliran Rini yang datang, kamu senang seperti dapat lotre. Tuh, lihat saja di depan. Masak aku bohong.”

   Aku mencubit ringan lengan Meli, tak peduli dengan sindirannya, aku segera keluar dari kamar kontrakan. Sandal, mana sandal ....

   ***

   Rini, anak perempuan berkulit sawo matang, dengan rambut sebahu agak berantakan, kira-kira berumur sekitar sepuluh tahun. Tegak berdiri di depan gerbang kontrakan karyawan dengan tangan memegang karung penuh botol plastik bekas. Sudah empat hari ini, Rini tidak nongol. Dan entah kenapa aku tidak rela kalau botol-botol bekas karyawan di kontrakanku ini, berada di tangan pemulung selain Rini. Jadi aku sengaja  menyembunyikan botol dan gelas bekas itu di sudut halaman belakang rumah kontrakan. Menunggu Rini sendiri yang mengambil.

   Rini tersenyum lebar melihatku membawa dua karung botol bekas. Dia menerimanya dengan mata yang bersinar-sinar. Ada perasaan hangat dan terharu mengalir dalam pembuluh darahku melihat kegembiraan yang polos itu.

   “Dari mana saja kamu, lama nggak datang?” Aku juga mengulurkan roti sobek dan susu kental manis kaleng dalam keresek plastik putih.

   “Gantian aku yang sakit, Mbak. Aku ketularan Abang. Panas dan batuk, tapi sekarang sudah sembuh kok.”

   “Bener sudah sembuh? Kalau begitu cepat pulang. Sebentar lagi malam. Memangnya besok kamu kuat sekolah?”

   Rini mengangguk, membereskan karung-karung botol dan gelas bekas pemberianku, dalam satu ikatan. Lalu menatapku lama.

   “Mbak ... terima kasih untuk semua bantuannya selama ini. Juga ... makanannya.”

   Belakangan ini aku memang sengaja memasak agak banyak. Entah mengapa sejak bertemu  Rini, aku selalu menyisihkan masakanku untuk dia. Mungkin karena wajahnya yang polos, mengingatkanku pada adikku Ratih yang sudah tiada. 

   Meskipun lampu penerangan jalan tidak terlalu terang. Aku bisa menangkap pantulan mata yang penuh kabut di kedua mata Rini.

   “Sudah, sudah, Rin. Tidak apa-apa. Cepat pulang. Jalan ini tidak aman kalau sudah malam. Nanti abangmu mencari.”

   “Tadi aku ditemani Abang. Itu dia sedang ngopi ....”

   Aku menoleh ke arah warung kopi yang di tunjuk Rini. Beberapa pengunjung kopi tampak menikmati kopi masing-masing. Aku tak begitu jelas Abang yang mana yang dimaksud Rini. Perhatianku malah tertuju pada sosok lelaki berambut gondrong dengan lengan penuh tato yang sedang menatap ke arahku. Ih, pasti  preman! Aku bergidik. Lalu menyuruh Rini agar lekas pulang. 

   Jalan sempit di daerah kontrakanku ini termasuk ramai penduduk sekaligus rawan. Terkenal horor jika sudah larut malam. Sudah banyak kabar sepeda motor hilang di dalam halaman kontrakan. Belum lagi, banyak preman dan copet berkeliaran. 

 (Bersambung)

Cikarang, 270222


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik