CERBUNG : Sekar dan Larung Sesaji 5

CERBUNG : Sekar dan Larung Sesaji (5)

Baca cerita sebelumnya di :

https://lidwinarohani.blogspot.com/2021/10/cerbung-sekar-dan-larung-sesaji-4.html

         “Ceritakan lagi kisah naga yang kemarin, mbak Menik,” pinta Sekar sambil menarik-narik ujung daster Menik. Menik tertawa kecil. Sekar memang suka sekali mendengar dongeng. Segala macam dongeng hampir semua sudah pernah dia ceritakan pada adiknya. Menik sampai kadang-kadang harus mengulang lagi dongeng yang sudah pernah diceritakan, karena dia sudah kehabisan bahan cerita.

         “Naga didalam telaga Sarangan itu? Bukankah baru kemarin mbak cerita?” telunjuk Menik menjulur ke arah telaga Sarangan. Meskipun rumah Menik berada di belakang rumah tetangga dan agak jauh dari pusat aktifitas  keramaian telaga Sarangan, tapi  dari teras rumahnya, telaga Sarangan masih sedikit terlihat jelas. “Tapi Tari kan belum tahu..,” Sekar menggoyang-goyangkan tangan Tari, seolah minta dukungan suara. 

         Tari anak  perempuan yang sebaya dengan Sekar, satu-satunya teman yang disukai Sekar, memang sudah kembali dari Caruban bersama bu Min ibunya tadi pagi. Acara Larung  Sesaji akan dilaksanakan lusa. Karena itu warga setempat seperti Bu Min dan ibunya, pasti akan sibuk mempersiapkan tumpeng dan  segala sesuatunya seperti tradisi tahun-tahun lalu. “Iya, aku belum tahu cerita naga itu mbak Menik.”

         Menik menahan tawa melihat kekompakan mereka. Ah, sudahlah. Toh pekerjaan rumah sudah beres semua. Memasak sudah. Mencuci baju sudah.  Menyapu kebun belakang sudah. Membuat sambel kacang dan memetik kacang panjang juga sudah. Baiklah, dia akan bercerita tentang legenda terbentuknya telaga Sarangan sekali lagi pada Sekar. “Ayo kita duduk di teras saja,” ajak Menik.  Kedua anak perempuan itu langsung memekik riang, dan segera kabur, berebut lari ke teras. 

         Menik sendiri tidak tahu kebenaran dongeng atau legenda tersebut. Dia hanya mendengar dari mulut ke mulut sesepuh desa dan juga warga sekitar rumah saja. Tapi dia juga pernah kok beberapa kali membaca legenda Sarangan di HP butut miliknya. Ceritanya hampir mirip.

         Konon katanya, dulu hiduplah sepasang suami istri di kaki gunung Lawu. Mereka menyebutnya dengan nama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka berdua hidup dengan rukun  meskipun hidup mereka sederhana sekali. Mereka tidak punya anak. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka menukar hasil kebunnya dengan makanan pokok yang ada dipasar. Kalau kebun mereka belum menghasilkan, biasanya Kyai Pasir mencari buah-buahan dan jamur ke dalam hutan untuk dimakan.

         Ketika Kyai Pasir berada di hutan, tanpa sengaja dia menemukan sebuah telur berukuran besar. Merasa tidak ada hewan disekitarnya yang menjaga telur itu, maka Kyai Pasir membawa telur itu pulang ke rumah.  Nyai Pasir semula ragu-ragu menerima telur besar itu. Dia kuatir sang induk mencari telurnya. Tetapi Kyai Pasir yang sudah lapar dan lelah karena perjalanannya dari hutan, membujuk sang istri untuk segera merebus telur tersebut. Sudah lama Kyai Pasir tidak makan telur.  Dia berpikir, menemukan telur di hutan adalah suatu rejeki. Itu saja.

         Keesokan harinya sebelum berangkat ke hutan lagi, Nyai Pasir menghidangkan sarapan dengan lauk telur rebus. Betapa bahagianya Kyai Pasir. Dia melahap setengah dari telur rebus itu dan menyisakan setengahnya untuk sang istri tercinta. Waaah, ternyata rasanya sangat lezat sekali, berbeda dengan telur ayam. Sepasang suami istri itu menikmatinya dengan gembira.

         Kyai Pasir pun lalu berangkat ke hutan. Sesampai di hutan, barulah Kyai Pasir merasa aneh, badannya mendadak gatal-gatal tanpa sebab. Semakin digaruk semakin gatal. Tidak kuat menahan gatal, Kyai Pasir berguling-guling di tanah untuk meredakan gatal. Bukan hilang gatalnya, eh.. sekujur tubuh Kyai Pasir malah sakit semua seperti ditarik-tarik.  Lalu tumbuh benjolan dan  sisik. Tubuhnya perlahan-lahan berubah bentuk menjadi seekor naga besar.

         Ternyata di rumah, Nyai Pasir mengalami hal yang serupa. Dia juga menderita gatal-gatal hebat yang luar biasa. Nyai pasir sampai menangis karena tidak kuat dengan rasa gatal itu. Dia berpikir, semua disebabkan karena kesalahannya karena merebus telur besar itu. Nyai Pasir menyesal dan berteriak-teriak minta ampun. Tapi apa daya, semua sudah terjadi.

         Penyesalan selalu datang terlambat. Mereka berdua tidak bisa kembali dalam wujud manusia kembali. Maka menangislah mereka berdua karena berubah wujud menjadi sepasang naga besar. Mereka masih berguling-guling ditanah untuk menghilangkan rasa gatal. Tanah tempat mereka berguling-guling sangatlah luas dan membentuk ceruk. Entah darimana datangnya, ditengah-tengah ceruk itu tiba-tiba memancar sumber air yang sangat deras sampai memenuhi ceruk. Dan akhirnya terbentuklah telaga, yang saat ini disebut telaga Sarangan.

          “Jadi tumpeng besok dilempar ke tengah telaga untuk makannya naga itu ya mbak ?” tanya Sekar. Menik tersenyum sambil menggeleng. “Kalau  naganya belum kenyang, pasti akan memakanmu, Kar !” celutuk Tari cekikikan sambil mengaduh karena Sekar  mencubit tangannya.

LidwinaODOP9 (40), 10 Okt 2021, Sekar dan Larung Sesaji (5)

     

         


 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik