Akhirnya Aku Menemukanmu
Akhirnya Aku Menemukanmu
Tante Enik memegang lembut kedua pipiku dengan tatapan yang tidak bisa kuterjemahkan dengan pasti. Air mata itu ... apakah air mata haru? Atau air mata penyesalan? Ah, sungguh aku tidak bisa mengartikannya hari ini. Yang aku tangkap, Tante Enik sudah tahu apa yang sedang terjadi.
Lembut Tante Enik membawaku dalam pelukannya. Seperti pelukan seorang ibu pada anak kandung. Bau parfumnya menguar lembut masuk dalam hidungku. Sayup aku mendengar suara tangis tertahan. Cepat-cepat aku mengurai peluk, dan mencoba memberi senyum termanis pada wanita paruh baya berkebaya modern berwarna abu itu. Berusaha melempar sinyal kalau aku baik-baik saja.
Syukurlah ada seorang kerabat yang mencari Tante Enik untuk kembali ke sesi foto di acara pernikahan hari ini, sehingga aku akhirnya bisa menarik napas lega diam-diam.
Mataku berkeliling. Gedung pernikahan ini lumayan mewah. Penuh hiasan dan wangi bunga bertaburan dengan ornamen cantik nuansa pink dan putih. Tersemat nama Intan dan Dirga di antara rangkaian bunga hidup yang elegan. Hidangan prasmanan melimpah dengan menu yang terlihat mahal. Aku meraih segelas air putih di ujung meja. Meneguk sedikit untuk memberi kelonggaran pada tenggorokan yang dari tadi seolah tercekik.
Tamu undangan semakin banyak yang datang. Satu satu mengalir dengan membawa senyum kebahagiaan. Wajar semua ini harus terjadi. Di sana, di pelaminan nuansa merah muda dan putih itu, sang mempelai wanita adalah seorang putri pejabat daerah sini.
Gadis yang sedang duduk di atas pelaminan sana adalah Intan, sahabatku. Seperti namanya, adalah salah satu batu permata berharga di dunia, Intan juga satu-satunya putri Tante Enik yang paling berharga. Intan yang cantik dan manja adalah salah satu sahabatku yang paling aku lindungi. Tidak seperti Puspita dan Ajeng yang agak kacau, Intan ini cantik dan innocent. Aku kerap melindunginya dari hasutan nakal Puspita dan Ajeng seperti berjamaah mengerjai playboy Rayhan di kampus.
“Apa benar, Lin? Kau akan menghadiri pernikahan Intan?”
Masih terbayang jelas keheranan dan kemarahan terpancar di wajah Puspita saat tahu aku akan datang ke pernikahan Intan.
“Kamu itu ... sebel deh, Lin. Mengapa kamu keras kepala untuk datang, sih?” tanya Ajeng tak kalah sewot.
“Ah, kalau aku sih ogah. Kamunya saja, Lin, yang terlalu baik. Sudah, lupakan mereka!” bujuk Puspita sambil memelukku yang sudah mulai mewek.
Aku menghela napas berat mengingat percakapan kemarin malam itu. Lupakan mereka ...
Lalu ... kira-kira bagaimana menurut mereka cara untuk melupakan itu? Apa ada bukunya? Ada rumusnya? Apa dengan menghindar datang pada pernikahan ini, apa lalu aku bisa dengan gampang lupa pada Intan? Benar akan semudah itu?
“Sel? Selin? Kau tidak apa-apa?” bisik seseorang menggoyang bahuku dengan hati-hati.
Aku tersentak kaget. Menoleh pada sosok lelaki yang tiba-tiba sudah duduk di kursi sebelahku.
Cepat-cepat aku meneguk air putih sampai habis tak bersisa. Lelaki itu memandang dengan tajam dan tanpa senyum.
“Kita pulang saja, Selin.”
“Tidak, Rama.”
Rama menatap makin tajam.
“Kau yakin?” tanya Rama dengan suara yang dingin. Aku mencoba tersenyum. Entah untuk menghibur Rama atau menghibur diri sendiri, aku tidak tahu.
“Sudah terlalu lama kita di sini. Sekarang kita harus pamit pada pengantin. Lalu pulang. Masih ada kerjaan di kantor yang harus kuambil.” Rama berdiri dan memegang lenganku, sedikit memaksa untuk beranjak dari kursi.
“Rama, aku ... “
Rama menggeleng lembut.
“No, Selin. No,” jawab Rama tetap menggeleng.
Aku sejenak menatap Rama, memohon untuk tinggal sebentar lagi. Tapi mata Rama tidak mau di ajak kompromi. Dan seharusnya aku tahu diri. Karena secara tidak langsung, aku lah yang menyetujui ketika Rama menawarkan diri untuk mengantarku datang ke undangan. Kalau Rama sampai tahu sudah sejauh ini masalahnya, pasti semua ini ulah Puspita dan Ajeng yang besar mulut! Huh!
Semakin mendekati pelaminan, hatiku semakin tak karuan. Kalau saja Rama tidak sesekali memegangi bahuku, pasti aku sudah ambruk. Sentuhan Rama di bahuku seolah memberi kekuatan baru untukku.
Dan akhirnya aku berdiri di depan Intan. Wajah cantik dan innocent itu berubah saat melihatku mendekat. Bibir Intan bergetar menahan tangis. Aku jadi takut riasannya yang mewah dan bagus itu ternoda oleh air mata. Aku membalas peluknya dengan kaku. Masih tidak percaya kalau ini adalah Intan. Intan yang sama seperti kemarin dulu. Salah satu sahabat kuliahku.
Tidak ada kata yang sanggup aku keluarkan. Aku seperti seorang tunawicara yang berdiri di depan pengantin asing. Begitu bodoh atau sok kuat, aku sendiri tidak tahu.
Lalu aku beralih pada sosok lelaki di sebelah Intan. Wajah yang aku kenali. Matanya yang cokelat. Hidungnya yang tinggi sempurna, dan senyumnya yang hangat.
Tetapi kali ini tanpa senyum yang hangat lagi. Kedua mata cokelatnya bahkan menatapku kelu. Ada sorot yang tidak ingin kuterjemahkan sama sekali di saat seperti ini. Tidak! Aku tidak mau melihat sinar mata itu lagi. Karena akhirnya aku menemukanmu, cinta. Tapi kini bukan milikku lagi.
Sentuhan tangan Rama di bahu mendorongku untuk bergerak melangkah maju, mengakhiri tatapanku dengan Dirga.
***
Ternyata aku tidak sekuat yang aku duga. Setelah aku masuk ke dalam mobil Rama, aku menutup wajahku dan mulai terisak.-isak.
Rama menarikku dalam pelukannya dan berbisik lembut.
“Menangislah sepuasmu, Selin, sepuasmu ....”
Tangisku pun semakin menjadi. Entah untuk siapa aku menangis. Masih layakkah aku menangis untuk Intan? Sahabatku sendiri yang tiba-tiba hamil dengan Dirga kekasihku?
Atau apa aku menangisi Dirga? Lelaki yang sudah berhasil membawa seluruh hatiku dan akhirnya aku menemukannya berdampingan dengan sahabatku sendiri? Cinta model apa ini?
Oh ya! Mungkin aku menangis untuk kebodohanku sendiri! Bagaimana mungkin aku begitu dibutakan cinta sehingga menutup segala celah khilaf?
Sementara tangisku semakin keras, aku merasakan tangan Rama menepuk punggungku sekedar untuk meredakan amarah dalam diriku yang tak kasatmata.
“Kita cari makan, ya. Kau hanya berdiri dan duduk seperti patung tadi. Aku cemas melihatmu, Sel”
Aku mengurai pelukan. Menatap Rama malu dan sendu. Mengapa aku jadi merepotkan Rama?
“Katamu ada yang tertinggal di kantor.”
Rama mengulum senyum.
“Memangnya apa ada alasan yang lebih bagus untuk membuatmu keluar dari sana?”
Aku menunduk, makin sendu.
“Maaf, aku merepotkanmu, Rama. Tidak seharusnya Puspita mengadu padamu tentang masalahku.”
“Tidak apa-apa, aku malah senang dilibatkan dalam segala masalahmu. Kau tahu dari dulu aku menyukaimu apa adanya. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan ada kapan pun kau membutuhkanku.”
“Rama, aku ....’
“Hei, tenanglah. Aku tidak terburu-buru. Kau masih boleh menangis sepuasmu, dan aku akan menunggu sampai tangismu reda.”
Aku mematung. Memandang lelaki yang sudah berkali-kali aku tolak cintanya, demi menjaga kesetiaanku pada Dirga. Apakah ini artinya aku sudah menemukanmu, cinta? Entahlah.
lidwina_ro , Cikarang 050222
Komentar
Posting Komentar