CERBUNG : Sekar dan Larung Sesaji (4)


 Cerbung : Sekar dan Larung Sesaji 4

Baca cerita sebelumnya di :

https://lidwinarohani.blogspot.com/2021/10/cerbung-sekar-dan-larung-sesaji-3.html

         Menik buru-buru meraih tubuh kecil Sekar, lalu memeluknya sangat erat. Hatinya lega sekali bercampur haru ketika akhirnya bisa  menemukan adiknya. Kali ini dia dan mbak Danik menemukan Sekar diantara semak belukar tak jauh dari belakang pasar. Entah mengapa perasaannya terus menerus gelisah  belakangan ini. Dia tak dapat menerka sama sekali penyebab kegelisahan itu. Yang dia tahu, dia hanya ingin berada disisi adiknya Sekar. Hanya itu. Pelukan Menik semakin erat ketika mendengar isakan tangis Sekar. “Pulang mbak... pulang...”

          Menik mengusap wajah anak itu, lalu menahan dagu Sekar dan menatap dalam. Mencoba memastikan sesuatu yang Menik sendiri juga tidak tahu dia mencari dan memastikan apa. Tapi demi melihat bola mata hijau muda yang basah dipenuhi air mata itu, hati Menik akhirnya luruh, dan menahan semua pertanyaannya. Dia akhirnya hanya bisa  mengangguk,”Iya iya, kita pulang sekarang. Ibu sudah lama menunggu kita dirumah. Ayo hapus dulu air matanya, kita pulang, sudah jangan menangis lagi.” 

        Mbak Danik yang melihat mereka, diam-diam ternyata menahan tangis. Dia tampak beberapa kali mengusap ujung matanya yang tak berhenti meneteskan air mata. Wajahnya pucat dan tak bisa menyembunyikan rasa kuatir, sama persis seperti Menik. Wajahnya bahkan kelihatan sangat tertekan. Dengan lembut mbak Danik ikut menenangkan, mengelus-elus punggung Sekar yang sedang dipangku Menik, lalu  mengecup ujung kepala anak itu dengan lembut. Untunglah Sekar segera ditemukan. Bagaimana mungkin Sekar beberapa kali belakangan ini selalu menghilang ? Bahkan hari ini hilangnya agak lama. Menjelang magrib dia dan Menik baru bisa menemukannya. Sesaat kemudian Menik mengangkat tubuh kecil itu, lalu menggendongnya dalam satu dekapan kuat. Mereka bergegas pulang, menembus pekat malam, hanya diterangi lampu jalan yang temaram.

         Bayangan-bayangan buram silih berganti  memenuhi kepala mbak Danik. Dengan pipi yang  masih basah air mata, dia mengikuti langkah Menik dari belakang. Tanpa suara. Hanya bisa merasakan udara Sarangan yang mulai semakin dingin. Seolah-olah dua kali lipat membekukan tangan dan kaki. Hatinya tiba-tiba juga ikut menggigil. 

         Setelah dimandikan air hangat dan disuapi Menik di ruang depan, akhirnya Sekar mau bercerita. Itupun setelah Menik mendesak dengan lembut. Ibu dan Menik hanya bisa saling melempar pandang saat akhirnya Sekar mulai membuka mulutnya.   Berkali-kali mata ibu Menik membelalak dan menghela nafas mendengar cerita Sekar. Menik malah beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyuruh adiknya mengulangi cerita, tanda tak percaya. Ibu Menik lalu berdiri, baru ingat kalau Mbak Danik masih diteras rumah. Lalu dia menghampiri mbak Danik yang duduk terkulai di lantai, dan membiarkan Sekar  meneruskan cerita dengan Menik berduaan saja. 

         “Danik pulanglah, nanti suamimu mencari. Terima kasih lho sudah membantu Menik mencari Sekar.” Danik, wanita tigapuluhan tahun itu menjawab dengan satu tersenyum getir dan hanya bisa menelan ludah. “Mulai besok biar aku saja yang jualan pecel. Menik biar menjaga adiknya di rumah.” Danik hanya mengangguk. Sesekali matanya melihat ke dalam, mencoba mendengar dan mengikuti pembicaraan antara kakak beradik itu. “Besok sekalian aku ke rumah pak Jarwo,” sambung ibu Menik dengan suara lirih. Danik tersentak,”Pak Jarwo, bu ?” Ibu Menik mengangguk. Siapa yang tak kenal Pak Jarwo? Lelaki setengah baya berkumis tebal. Biasanya berpakaian hitam dengan ikat kepala hitam pula. Meskipun penampilannya kelihatan seram, tetapi pak Jarwo sendiri sebenarnya adalah sosok dengan pribadi baik yang tenang mengayomi dan suka menolong warga setempat. Semua penduduk Sarangan asli pasti sudah mengenalnya. Dia adalah orang pintar  yang dapat menerawang dan masuk untuk berinteraksi dalam alam gaib. Sudah biasa jika menjelang  diadakan Larung Sesaji, pasti beberapa kejadian aneh bermunculan.  Di tahun-tahun kemarin juga begitu. Dan pak Jarwolah yang sudah  menanganinya. Ibu Menik dan mbak Danik berpandangan. Ada kegelisahan yang sama terpantul dari mata kedua wanita itu. “Ibu takut Sekar kenapa napa, Danik.. biar pak Jarwo  menetralkannya.” 

          Malam semakin larut. Angin dingin Sarangan seperti biasa semakin menggigit,  menusuk sampai ke dalam tulang. Mbak Danik bergegas pulang.  Rumahnya sendiri tidak jauh dari rumah Bu Sum. Hanya melewati lima rumah saja. Mbak Danik tidak mau mas Joko, suaminya itu kuatir lalu bertanya panjang lebar. Sekalipun kadang-kadang mas Joko, suaminya terlalu protektif, dia harus tetap menghormatinya. Bagaimanapun juga, mas Joko mempunyai andil besar dan berjasa dalam menopang kehidupan keluarganya dulu. Bahkan sampai sekarang. Dan entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan semua ini. Entahlah..

LidwinaODOP9 (39), Sekar dan Larung Sesaji 4

          

         


          

          


Komentar

  1. Penasaraaan....
    Bagus jalan ceritanya mengalir meski pasti belum tahu ujungnya

    BalasHapus
  2. Tunggu Bun, plot twist nya...wkkk...🙏

    BalasHapus
  3. Hmmm
    aku menantikan kemunculan Pak Jarwo ini

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik