KABUT HATI (4)

 

Penulis : Lidwina Ro


Lindri hanya melongo,  menatap kepergian Leon dengan mata tak berkedip. Sepertinya dia perlu waktu untuk mencerna semuanya dengan pelan-pelan. Sementara Ibu diam-diam menghampiri Lindri, lalu memeluk bahunya dari belakang. Lindri menoleh, menatap ibunya, seolah-olah meminta pendapat. Ah, Ibu pasti mendengar seluruh pembicaraan mereka tadi. Tapi Ibu malah mengulum senyum.

    “Kelihatannya pribadi Leon lumayan juga,” bisik Ibu. Mendengar Ibu bicara seperti itu, perlahan-lahan kabut di hati Lindri mulai menepi. Sebenarnya diam-diam Lindri juga menyukai Leon. Hanya saja, dirinya selalu memendam dalam hati sendirian. Semoga mulai besok semua kabut dalam hatinya benar-benar akan perlahan menguap, seiring matahari yang menawarkan beribu harapan yang menghangatkan hati.

 ***

    Bel sekolah baru saja berbunyi. Lindri bergegas ke kantin, tetapi gadis berseragam putih abu itu terkejut ketika tiba-tiba Karin berdiri tepat di depannya menghadang jalan. Terlambat sedetik saja, tubuh mereka pasti akan bertabrakan. Apa-apaan Karin ini!

   “Jadi, Leon mengajakmu nonton kemarin, ya?”

   Lindri yang semula bingung dengan tingkah Karin dengan cepat mencerna situasi. Mata tajam dan nada sumbang yang keluar dari mulut Karin sangat kental dengan aroma cemburu. Lindri mulai tahu ke mana arah pembicaraan Karin.

    “Ya, kami nonton semalam,” angguk Lindri sambil bertanya-tanya dalam hati bagaimana Karin bisa tahu, ya, kalau kemarin malam, dia dan Leon keluar berdua dan nonton bioskop?

   Lindri menangkap ada kebencian dan luka yang menggeliat di mata Karin. Beberapa detik mata mereka beradu pandang. Ada perasaan tidak nyaman di hati Lindri ketika harus menjawab pertanyaan Karin. Mengungkapkan apa yang seharusnya menjadi urusan pribadi seharusnya tidak etis.

   “Kalau begitu, kita berdua mempunyai tujuan yang sama pada Leon,” bisik Karin terus terang, sebelum meninggalkan Lindri yang tiba-tiba terdiam kehabisan kata.

   Ah, rupanya Karin sudah menabuh genderang perang! Gelisah segera datang perlahan mengepung hati Lindri. Tapi dia bisa apa selain bertahan? Lindri berdiri mematung di teras utama sekolah dengan pikiran menerawang jauh.

   “Karin mengganggumu?” Tiba-tiba Leon muncul dan tersenyum sambil menuntun sepeda motornya mendekati Lindri di antara lalu lalang murid SMA yang baru saja keluar dari kelas masing-masing.

   “Itulah hidup. Harus ada gangguan supaya kita tahu apakah cinta kita sudah mengakar atau hanya di permukaan saja,” lanjut Leon. Lindri mencoba tersenyum, diam-diam membenarkan ucapan Leon dalam hati.

   “Kau siap melaluinya bersamaku?” tanya Leon.

   “Aku siap!” sahut Lindri mengangguk. Lindri percaya sebuah cinta yang tulus akan menemukan jalannya sendiri. Cinta sejati akan mengikis kabut selapis demi lapis yang menghalangi cerita cinta mereka.

(selesai)


Ckr, 060622


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik