KABUT HATI (3)



    Pipi Lindri langsung terasa panas saat mulai menyadari ke mana arah bicara Leon.

    “Apa kau baik-baik saja, Leon?”

    Leon tergelak. Sambil lahap menyantap nasi soto, dia menjentikkan jarinya, lalu telunjuknya mengarah lurus ke Lindri.

    “Nah, ini lah kamu, Ndri. Terlalu menjaga jarak denganku. Kenapa? Apa yang kau takuti?”

    Lindri menggelengkan kepala. Rasanya terlalu aneh kalau Leon tiba-tiba mengajaknya pergi. Apa sebenarnya yang dilihat Leon darinya? Prestasi Lindri di kelas pas pasan saja. Dirinya tidak terlalu pintar, tidak supel, kuper ...  dan tidak cantik-cantik amat. Dirinya bahkan hanya anak penjaga kantin sekolah. Dari sudut pandang mana pun, tidak ada hal yang patut dibanggakan dari dirinya. Ah, Leon mungkin sedang mabuk.

    “Apa yang kau pikirkan, Ndri? Minder?”

    Sungguh ucapan yang betul-betul jitu dan mengena. Tapi Lindri hanya menjawab dengan satu senyuman sumbang saja.

    “Heh, apa yang kau pikirkan, Ndri?” desak Leon untuk yang kedua kali, sambil meraih tisu dan mengelap mulutnya. Dia makan dengan cepat sekali. Sambil menyeruput teh hangat, Leon tetap memandangi Lindri. Menunggu gadis itu menjawab.

    “Aku yang seharusnya bertanya padamu. Apa yang kau pikirkan mengajak aku keluar? Apa kau tidak salah sasaran?” tanya Lindri lirih.

   “Coba katakan, di mana salahku, Ndri?”

   “Banyak gadis lain yang lebih pantas kamu ajak keluar.”

    “Tahu dari mana kau siapa yang pantas dan tidak untukku? Aku sudah menyukaimu sejak masuk ke kelas kita. Syarat utamaku adalah, aku harus menyukai gadis itu. Tapi, apa kau juga menyukaiku?”

    Lindri terdiam, mencoba menenangkan jantungnya yang tiba-tiba berdegup keras. Ada rasa hangat mengalir dalam dadanya, sekaligus rasa malu karena Leon sangat berterus terang. Apa dia tidak salah dengar? Leon menyukainya? Tapi atas dasar apa?

    “Mengapa ... harus aku?” desis Lindri masih tak percaya.

    “Karena aku suka dengan pribadimu yang sederhana. Apa adanya. Tidak berpura-pura. Jadi aku ingin mengenalmu lebih jauh.”

    “Lalu bagaimana dengan Karin? Bukankah dia ....”

    “Ingat syaratku yang tadi, Ndri. Tunggu aku besok sore, ya. Aku akan menjemputmu di rumah,” potong Leon sambil berdiri dan melangkah menghampiri Ibu, untuk membayar makanannya.

(Bersambung)

Ckr, 050622


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik