CABAI


 CABAI


Semula aku acuh tak acuh melihat sebuah tanaman kecil liar tumbuh di dekat rumpun melatiku. Paling-paling di akhir Minggu juga diratakan dengan cangkul sama si Zaenal. 

Ketika aku membuang sampah, mataku menangkap tumbuhan itu lagi. Eh, belum diratakan juga sama Zaenal. Padahal aku paling bawel melihat rumput yang cepat tinggi.

Lalu musim hujan pun tiba. Tanah yang biasanya kering, kini diguyur air langit merata basah dan segar. Beberapa bunga putih kecil mulai bermunculan di batang kecil tanaman liar itu.

Aku pun langsung mengenali tanaman itu. Siip!! Itu cabai. 

Harga cabai di pasar saat ini tidak begitu gila sih ... akan tetapi tiba-tiba aku ingin mempertahankan tanaman cabai liar itu, yang semakin hari semakin lebat berbuah. Sayangnya hanya sebatang. Wek!!

Sebelum berangkat kerja, aku selalu turun dari motor, dan piket dulu ( tapi enggak bawa pentung ya ) Aku selalu memeriksa tanaman cabaiku. Malah sempat beberapa kali aku menghitung jumlahnya. Koplak, ah. Siapa juga yang mau mengambil cabaiku?!  Di pasar juga banyak. 

Tidak seperti Ayah yang suka berkebun, aku hanya penikmat tanaman. Tidak senang berurusan dengan tanah. Anak farmasi urusannya dengan obat! ( jangan ditiru, yang terakhir ini halu ) Wek!!

Cabai yang semula berwarna kuning pucat, lalu orange muda, terus orange tua ... dan akhirnya merah sempurna.  Hari ini yang merah sempurna berjumlah tiga. Rasanya sayang kalau yang tiga ini, harus berakhir di cobek ku, atau berakhir sebagai campuran telor dadar ku. 

Amazing!! Tuhan luar biasa menciptakan cabai. Maha karya yang sempurna. Masakan selezat atau semahal apa pun, tanpa dinodai cabai sepertinya akan hambar. Bisa nggak sih emak-emak hidupnya jauh dari cabai? 

Kalau aku sih, no way!!

Lidwinaro, Ckr 111121





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik