SERIBU KUPU-KUPU
Penulis : Lidwina Ro
Ponselku berbunyi nyaring. Menyentak jantung, membuat kepalaku mulai berdenyut sakit karena kaget. Tanpa menengok ponsel, aku segera menyingkap selimut. Cahaya terang dari balik jendela menandakan hari mulai merangkak siang. Bergegas aku bangun dari tempat tidur, berniat untuk mempersiapkan bekal untuk Tiara.
Mbok Sari menyapa ramah saat melihat aku masuk ke dapur.
“Sarapan sudah siap semua, Bu. Apa Ibu mau dibuatkan jus tomat?”
“Maaf, Mbok. Aku kesiangan lagi. Belakangan ini kepalaku sering sakit. Eh, sudah bikin bekal sekolah buat Tiara, Mbok?”
Mbok Sari menatapku beberapa detik. Bukannya menjawab, pembantu paruh baya itu malah tersenyum sumbang.
“Beres, Bu. Sudah Mbok siapkan bekalnya tadi. Bapak juga sudah mengantarnya ke sekolah setelah sarapan tadi.”
Aku tersenyum lega. Entah mengapa belakangan ini aku sering bermasalah dengan kepalaku sehingga tidak bisa mengantar Tiara sekolah. Aku bergegas mandi.
Saat melewati kamar Tiara, langkahku mendadak berhenti. Seperti ada seribu kupu-kupu beterbangan di dalam kepalaku yang kosong dan gelap. Tiba-tiba aku rindu pada anak perempuanku yang cantik itu.
Ingin sekedar melihat kamar Tiara, aku mendorong pintu kamar tidur Tiara. Aneh sekali, mengapa terkunci? Ketika mencoba memaksa membuka pintu, tiba-tiba Mbok Sari muncul.
“Mengapa kamar Tiara terkunci, Mbok? Mana kuncinya?” tanyaku kesal.
“Eh, anu, kuncinya ....”
“Siapa yang mengunci kamar Tiara, Mbok?” potongku sengit menahan marah yang tiba-tiba datang.
Tiba-tiba sebuah tangan merangkul bahuku dari belakang. Aku menoleh, mendapati suamiku tersenyum lembut.
“Kau ... tidak ke kantor?” tanyaku keheranan.
“Hari ini Minggu, Sayang. Mandilah dulu, hari ini kita ada janji, bukan?”
“Janji? Mau ke mana kita?” tanyaku linglung.
“Menengok Tiara.”
Aku mengerutkan alis. Menengok Tiara? Aku menatap suamiku dan Mbok Sari bergantian. Lalu ingatanku akan sosok mungil berumur empat tahun yang sudah tiada itu perlahan-lahan muncul. Tertawa riang di atas awan dengan seribu kupu-kupu sambil melambaikan tangan sambil memanggilku ... Mama, Mama!
Kepalaku kembali berdenyut sakit saat aku paksa seluruh sel-sel otak untuk mengumpulkan kembali kepingan ingatan yang berserakan. Tiara, anakku. Di mana kesayanganku sebenarnya berada? Mengapa sulit sekali menemukan sosok mungil cantik itu dalam pikiran?
Tunggu, tunggu! Sepertinya aku mulai melihat rambutnya yang ikal, hitam, halus dan panjang sebahu. Lalu aku mencium bau nafasnya. Dan ... sepasang mata bulat yang sendu, menatap lemah, dan kemudian perlahan-lahan menutup.
Tiara kesayanganku. Ah, tidur kah, kau, Tiara? Kau pasti hanya tidur! Tidur yang terlalu panjang.
Setelah menatap mata suamiku yang berkaca-kaca, aku lalu meraung dalam pelukannya.
***
Cikarang, 08 April 2022
Komentar
Posting Komentar