KURSI KOSONG


 Penulis : Lidwina Ro


   Beberapa daun jatuh di atas kepala seorang pria tua yang sedang duduk di sebuah kursi kayu. Sesekali pria itu merapatkan jaket yang sudah tipis. Sepertinya angin yang berembus dingin tak sanggup mengusir pria itu untuk beranjak.

   Entah pertarungan apa yang sedang bercokol di dalam pikirannya. Mata pria itu hanya lurus memandang ke depan. Terkadang matanya berembun, tak jarang juga bersinar redup. Lalu sesekali berkilat penuh makna. Seakan sedang menanti sesuatu yang sangat berarti. Tapi sesungguhnya aku penasaran dengan pria tua itu.

   Aku menghampirinya sambil membawa secangkir kopi susu. Meletakkan hati-hati di kursi, sebelah pria itu. Seperti biasa dia mengangguk sambil tersenyum.

   Pria itu adalah salah satu pelanggan baruku. Aku baru sebulan pindah di lokasi ini menjajakan kopi. Dia adalah  pria tua yang tidak terlalu suka bicara. Biasanya dia menyesap kopi susu buatanku hampir setiap sore dengan wajah muram.

   Begitu sesapan kopi buatanku itu merasuk tenggorokannya, wajah pria itu sedikit berubah. Ada kepuasan yang terpancar di wajahnya. Hal ini membuatku lega.

   Angin sore yang semakin menusuk di musim penghujan ini membuat pria itu buru-buru meniup kopi. Kadang aku takut melihatnya tersedak. Pria tua itu berwajah hampir mirip dengan bapakku di kampung, yang sudah lama tak kulihat. Dengan melihatnya, seolah mengobati kerinduan yang lama tersimpan ini. Entah kapan aku bisa pulang ke kampung halaman untuk memeluk bapak dan emak. Sudah setahun ini aku terdampar di kota, dan selalu gagal mencari pekerjaan. Malu jika aku nekat pulang kampung masih berprofesi sebagai penjual kopi keliling. Biarlah aku menunggu sebentar lagi, siapa tahu lamaran pekerjaanku ada yang nyantol di sebuah pabrik.

   “Sudah hampir hujan, No. Kenapa kamu malah melamun?” Pria itu menepuk bahuku, membuyarkan semua lamunan, sambil mengulurkan selembar uang sepuluh ribuan.

   Bergegas aku mencari uang kembalian.

   “Sudah besok saja, No. Cepat pulang, sebentar lagi hujan.” ujar pria tua itu sambil melangkah pergi dengan tertatih.

 ***

   Lima hari ini aku tidak melihat pria itu di taman. Kursi kosong itu tampak berbeda tanpanya.

   “Mencari siapa Mas Parno? Bapak langgananmu itu, ya?” tanya Bu Gami, penjual gorengan dan lontong isi. Aku mengangguk.

   “Sudah meninggal, Mas.”

    Aku melongo. Menatap Bu Gami tidak percaya. 

   “Sudah lama Pak Wija merindukan istrinya yang sudah lama tiada,” jelas Bu Gami, yang lebih lama berjualan di taman. Pastinya dia lebih mengenal pria tua itu.

   Oh, jadi kerinduan pada istrinya yang menjadi lamunan panjang langganan baruku di kursi taman setiap sore? Sedih aku menatap kursi kosong. Tiba-tiba aku merasa rindu pada bapak dan emak di kampung.

Cikarang, 18 April 2022


   

   

   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik