RAHASIA LUKA (5)


 Oleh : Lidwina Ro


   Terdengar pintu depan dibuka dari luar. Aku menatap kedua lelaki yang baru saja masuk ke dalam rumah. Leon dan Rico. Entah cerita apa yang disampaikan oleh Rico sehingga Leon tertawa gelak. Dengan sebelah tangannya, Leon merangkul bahu Rico. Wajah Rico tampak bersinar bahagia. Selalu ekspresi itu yang terpancar di wajah anakku setiap kali Leon mengajaknya keluar. Entah untuk membeli burger atau martabak telur, bahkan sekedar keluar berputar-putar sebentar mencari angin di sekitar alun-alun.

   Leon sudah mengisi hari-hari Rico layaknya orang tua pada anaknya. Dia selalu meluangkan waktunya untuk Rico sepenuhnya sepulang dari rumah sakit di mana dia bekerja. Mereka saling bergantung, saling terikat dan saling menyayangi. Jika di lihat dari luar, tampak tidak ada yang salah sama sekali melihat kedekatan mereka. Semua kelihatan nyaris sempurna seperti sebuah keluarga normal pada umumnya. Tapi semua dusta ini ... ya Tuhan, sungguh menyesakkan dada. Entah sampai kapan aku harus menyimpannya. Beban ini semakin lama semakin terasa berat. Aku kadang lelah membawanya setiap hari.

   “Kau memikirkan apa? ”

   Aku sedikit kaget Leon menyapa dan duduk di sebelahku. Lamunanku pecah, dan hilang dalam sekejap. Aku tersipu. Selalu saja begini. Leon seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku sebelum aku membuka mulut.

   “Mau makan keluar?” ajak Leon sambil melirik arlojinya. “Masih belum terlalu malam beli ayam bakar langgananmu, Sa.”

    Aku buru-buru menggeleng. “Apa kau masih lapar? Mau makan masakan Bi Tini lagi? Mau aku panaskan?” tanyaku.

   “Tadi kau yang tadi makannya sedikit, tak berselera. Aku perhatikan kau seperti memikirkan sesuatu akhir-akhir ini, Sa. Apa ada masalah?” tanya Leon sambil membuka bungkus martabak telur di atas meja, mengambil satu, dan mulai makan martabak.

   Aku buru-buru menggeleng lagi. Kali ini dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.

   “Apa Erik meneleponmu?” 

   Aku membelalak. Menatap Leon dengan sengit. Aku tak percaya Leon mengungkit nama itu setelah sekian lama waktu berlalu. Bagiku Mas Erik adalah sejarah usang. Meskipun sejarah itu telah memberiku sebuah kehidupan baru yang tidak ternilai harganya. Rico.

   “Kemarin Erik meminta nomor ponselmu, dan aku memberi nomormu pada ...”

   “Kau lancang, Leon!” semburku tak senang.

   “Tunggu, Sa. Jangan marah dulu.” Leon menarik tanganku dan mencoba menenangkan amarahku yang entah kenapa cepat sekali tersulut.

   Ketika mata kami bertemu, aku membuang muka. Leon yang biasanya teliti dan tidak cepat terpengaruh dengan pendapat orang, mengapa sekarang kelihatan lebih membela Mas Erik dari pada aku?

   “Cepat atau lambat, Erik akan menghubungimu untuk mengetahui kabar Rico. Tenanglah, jangan panik. Semua akan baik-baik saja.”

   "Semua tidak akan baik-baik mulai sekarang, Leon," suaraku bergetar menahan tangis.

   Leon memaksa wajahku untuk menatap matanya. Bulir-bulir beningku akhirnya runtuh juga.

   "Semua akan baik-baik bersamaku, Rosa. Aku janji. Sudah, jangan menangis lagi."

(Bersambung)


Cikarang, 18 Maret 2022


 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik