RAHASIA LUKA (4)


 Oleh : Lidwina Ro


   Ibarat kata,  aku yang memupuk, tapi orang lain yang memetik bunganya. Ah, sudahlah! Memang aku hanya seorang yatim piatu dari panti asuhan. Akan sangat memalukan bagi keluarga besar Mas Erik, kalau ternyata hanya gadis sekelas diriku yang bersanding dengan seorang dokter lulusan luar negeri kebanggaan keluarga. Tapi siapa yang dapat mengatur datangnya cinta saat aku menjadi perawat dan sering bertemu dengan dokter Erik setiap hari di rumah sakit?

   “Kau belum memberitahu Rico siapa aku, ya, Ros?” tanya Mas Erik lirih, membuyarkan semua lamunan.

   Aku menahan napas dan membisu. Tidak tahu harus menjawab apa. Dari dasar hatiku yang paling gelap, aku ingin Rico hanya menjadi milikku seorang. Bukankah dulu Mas Erik juga pernah membisu saat meninggalkan aku? Hanya Leon yang jatuh kasihan padaku. Leon sahabat Mas Erik yang tahu permasalahan dengan detil, menawarkan diri membantuku di saat berbadan dua. Menawarkan diri menikahiku!

    Leon yang menolongku di saat aku terjepit. Leon juga yang mengambil risiko menarikku agar aku tidak jatuh dalam jurang luka dan dendam. Jadi buat apa juga aku harus bersusah payah menerangkan pada kesayanganku Rico tentang siapa bapak biologisnya? Hanya memperpanjang  sejarah kelamku saja.

   “Aku sudah mau balik, Mas. Mau bersiap-siap dulu,” ujarku lirih. Suaraku sedikit gemetar. Dan saat melihat Leon masuk membawa tas keresek berisi oleh-oleh dari arah pintu utama, aku pun bangkit berdiri. Rupanya Leon sengaja membeli oleh-oleh dulu dan membiarkan Erik menemuinya di rumah. Ah, dasar Leon!

   “Ros,” panggil Mas Erik sebelum aku benar-benar berbalik meninggalkan ruang tamu.

   Aku menoleh. Melihat kedua mata Mas Erik penuh dengan penyesalan yang dalam, membuat hatiku ikut teriris. Bagaimana pun juga, Mas Erik pernah lama mendiami hatiku. Aku masih bisa mengeja bahasa tubuhnya, termasuk sinyal yang terpancar di kedua bola matanya, tanpa harus berucap kata.

   “Boleh aku menemui Rico di lain waktu?” tanya Mas Erik. Tidak ada nada memohon di sana. Adanya malah nada agak memaksa yang tertangkap di telingaku.

   Aku terperangah, tidak bisa menjawab. Hanya mata kami berdua yang bicara. Masing-masing dengan keinginan yang berbeda.

    Leon tiba-tiba melangkah mendekati kami, lalu menepuk pelan bahu Erik. 

   “Aku sendiri nanti yang akan mengantarkan Rico padamu, Rik. Aku janji.”

   Aku terkejut mendengar janji Leon. Hatiku menolak keras ucapannya. Tapi Leon hanya mengangguk kecil ke arahku. Meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Kekesalanku perlahan surut. Dan seperti biasa, entah lah ... aku percaya saja pada Leon. 

   “Pa!” seru Rico nyaring, memecahkan suasana yang hening dan suram.

Kami bertiga semua terkejut, dan menoleh serentak pada anak lelaki berambut ikal yang tiba-tiba muncul di ruang tamu. 

   “Pesananku burger mana, Pa?”

   Leon tertawa lega, lalu mengulurkan kunci mobil pada Rico.

   “Ambil di mobil, Sayang. Sepertinya Papa taruh di kursi belakang.”

   “Makasih, ya, Pa! love you.”

   Rico berlari kegirangan, menuju mobil Leon yang di parkir di halaman.

   Sementara aku bergegas masuk ke dalam kamar, enggan menatap reaksi di wajah mereka lagi. Aku melanjutkan membereskan baju. Semua kenangan pahit dan masa depan yang tenang terus menari silih berganti di dalam pikiranku. Hidup ini akan terus berjalan, walaupun hatiku masih tercecer dalam banyak ruang ingatan lama, yang seharusnya sudah kedaluwarsa.

(Bersambung)


Cikarang, 17 Maret 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik