RAHASIA LUKA (3)


 Oleh : Lidwina Ro

   

   Tidak salah kah mataku ini? Hatiku berdebar keras dipenuhi rasa kaget, kesal, tapi juga penasaran. Ini adalah pertama kali mereka bertemu lagi setelah ... sejarah penuh luka itu.

   Hm, pasti Leon yang sengaja memberitahu dan mengizinkan Mas Erik menemuiku. Ya, ampun Leon! Untuk apa semua ini? Setelah sekian tahun berlalu, mengapa akhirnya Leon memberi izin pada Mas Erik? Bukankah sebelumnya sudah berjanji padaku kalau Mas Erik tidak boleh menemui aku dan Rico lagi?

   Leon dan Mas Erik, mereka berdua adalah sahabat sejak kecil. Dan mereka berdua pasti bertemu dalam seminar kedokteran kemarin.

   “Hai, Rosa. Apa kabar?”

   Tanganku ingin sekali menutup pintu kembali, tapi ternyata tenagaku menguap entah ke mana. Lenganku seperti lunglai, lemas. Yang ada hanya rasa perih tiada tara yang masih bercampur dengan sisa cinta yang sudah berkeping hancur tak lagi berbentuk.

   Aku terdiam. Masih berusaha memulihkan kekagetanku.

   “Leon yang memberi tahuku, kalau mengajak kalian ikut,” ujar mas Erik seperti ingin ikut membantu meredakan kekagetanku.

   Aku mencoba membentuk seringai kecil dengan susah payah. Sungguh rasanya aku ingin memukuli wajah Leon sekarang juga. Untuk apa juga Leon repot-repot membuatku semakin tak tenang di hari terakhir di kota ini?

   “Jangan salahkan Leon. Bagaimanapun juga, Leon sahabatku sejak kecil. Sudah terlanjur dekat dan saling terbuka. Hm ... kau baik-baik? Kau sehat?”

   Aku mengangguk, lalu terpaksa membuka pintu lebih lebar dan membiarkannya masuk ke dalam rumah.

   “Ros,” ucap Mas Erik setelah duduk. Entah apa yang ada di dalam isi kepala lelaki itu sekarang.

   “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu, Ros.”

Aku melirik dengan tatapan hampa dan luka yang terpendam rapi. Tidak ada niat sama sekali untuk masuk dalam obrolan.

   “Kau sudah merawat dan menjaga Rico dengan baik. Ros, seharusnya kau ....”

   “Leon yang lebih banyak merawatnya,” potongku cepat sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Jujur saja, aku masih memendam luka, dan masih enggan melepas luka begitu saja yang sudah telanjur berkarat di hatiku.

   Aku memberanikan diri melirik diam-diam. Raut wajah Mas Erik berubah seketika. Merah padam. Ada sekelebat kilat tertekan dan kecewa di dalam matanya. Atau sesal? Atau mungkin sedikit rasa marah juga? Entahlah. Apa peduliku? Bukankah dulu, Mas Erik sendiri yang pertama kali memutuskan untuk menikahi Tiara -terpaksa atau tidak- sebelum aku sempat bicara kalau sudah terlambat dua bulan. Dan bagaimana aku bisa menjelaskan pada Mas Erik, kalau pernikahan Mas  Erik dilangsungkan secara mendadak dan kilat? Coba bayangkan bagaimana cara aku bisa mengatakan pada Mas Erik di situasi seperti itu? Bagaimana? Jadi tidak patut kalau Mas Erik sekarang kecewa kepadaku. Sudah terlambat!

(Bersambung)


Cikarang, 16 Maret 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik