MENGUBAH NASIB (2)


   Oleh : Lidwina Ro


   Apakah semua masih benar-benar sama, sebetulnya tidak juga. Ya, tentu saja ada perubahan di warung itu, misalnya mereka tidak menggoreng tahu di depan warung lagi, tetapi mereka menggoreng dan mengulek bumbu di dalam. Ada etalase kaca yang memisahkan antara penjual dan pembeli, dimana mereka memajang makanan khas, ada kue satu kacang hijau, lempeng, keripik tempe, keripik usus, kacang goreng dan beberapa makanan khas lainnya. Yang menjual sekarang pun sudah generasi penerus nenek itu. 

   Kalau dipikir-pikir, sepertinya nasib penjual tepo tahu telur itu tidak berubah selama berpuluh-puluh tahun! Entah sampai kapan mereka akan menjadi penjual tepo tahu telur. Betapa setianya.

   Kesetiaan adalah sesuatu yang memang bernilai tinggi. Tetapi coba kita renungkan, bagaimana kalau setia pada profesi yang sama dan nasib yang sama selamanya? 

    Kata “setia” bisa bermakna ganda. Setia bisa berarti baik, tetapi setia bisa juga berarti tidak menguntungkan. 

   Sambil menikmati tepo tahu telur yang masih panas dengan segelas es jeruk peras, saya masih bisa merasakan cita rasa enak yang sama seperti hasil ulekan dan racikan sang nenek semasa kecilku. Acar timun yang segar sebagai pelengkap, rasanya pun masih sama persis seperti dulu. Saya lalu iseng bertanya pada anak lelaki nenek tersebut yang tentunya sekarang usianya sudah diatas saya.

   “Tidak ingin mencoba pekerjaan lain di kota besar, Mas?”  Ingin tahu apa jawabannya.

   “Halah, Mbak, Mbak. Mau kerja apa saya nanti di kota besar. Mungkin nasib saya, ya, sudah begini ini, jadi penerus Simbah turun temurun,” sahutnya santai sambil tersenyum dan melanjutkan mengulek bumbu dengan terampil.

   Jadi artinya, mereka merasa sudah yakin dalam hatinya, bahwa mereka ditakdirkan menjadi penerus penjual tepo tahu telur di sepanjang hidup. Mereka berpendapat tidak ada lagi pekerjaan lain yang bisa dikerjakan. Bahkan saking yakinnya, mereka tidak berusaha mencari profesi yang lebih baik lagi. Atau mungkin mereka merasa sudah berada di zona nyaman, ya?

   Lalu bagaimana dengan nasib karyawan? Mengapa ada banyak karyawan yang kariernya terhenti pada posisi yang sama sejak mulai bekerja dan  di akhir mereka pensiun? Apakah mereka juga merasa berada di zona nyaman sehingga mereka meyakini bahwa di situlah nasibnya?

   Mungkin ada beberapa jawaban mengapa mereka berhenti pada posisi tersebut, yaitu :

1. Mungkin mereka sudah   merasa puas dengan pekerjaan yang begitu-begitu saja. 


2. Mungkin merasa tidak sanggup atau tidak siap, atau menolak pekerjaan lain yang lebih menantang.

   Mereka merasa yakin, bahwa di situlah nasibnya. Tanpa disadari mereka telah menciptakan penghalang bagi perkembangan kariernya sendiri. 

   Bagaimana kalau mindset tentang nasib itu mereka ubah? Harusnya mereka membangun keyakinan kalau ada nasib yang lebih baik dan masa depan yang lebih cerah serta mau meningkatkan kemampuan diri, mau belajar hal-hal lain yang lebih menantang. Bukankah hal ini bisa mendatangkan kesempatan untuk mengubah nasib mereka?

3. Mungkin mereka tidak tahu akan potensi dirinya sendiri.

Banyak orang yang tidak tahu atau tidak sadar bahwa mereka sebenarnya mempunyai potensi diri, sehingga perlu seseorang untuk mendorong, memberi kesempatan,  mengajar, memberi masukan dan mengarahkannya.


   Saya sendiri pernah mengalami kisah yang kurang lebih seperti itu. Ada seorang karyawan yang melamar. Dia hanya lulusan SMP. Semula tempat kami bekerja hanya menerima lulusan STM dengan jurusan teknik mesin saja. Tetapi karena dia berniat kuat dan berjanji mau belajar dengan rasa ingin tahu yang tinggi pula, akhirnya untuk orang tersebut diberi dispensasi untuk menjadi karyawan sementara. Dalam bimbingan trainer dan beberapa senior, akhirnya karyawan tersebut mulai memahami cara bekerja di tempat kami, dan dalam waktu dekat, sedikit demi sedikit mulai menguasai teknik mesin, dan malah akhirnya menjadi salah satu karyawan yang disegani di tempat kami bekerja, karena ketelitian dan cermatnya dia dalam mengerjakan spare part yang presisi. Bayangkan, dia hanya lulusan SMP saja. Tapi sekarang sudah mendapat posisi yang bagus di tempat kerja.

   Jadi, apakah nasib seseorang bisa diubah? Ada yang menjawab “Tidak bisa!” Ada juga yang menjawab “Bisa!” Akan tetapi sekarang bisa jadi ada yang menjawab “Mungkin.”

   Bagaimana dengan jawaban anda sendiri? Jadi, apakah seseorang bisa mengubah nasibnya sendiri?

(Selesai)


Cikarang, 02 Maret 2022


   



   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik