HUTAN SUNYI


Oleh : Lidwina Ro


Aku sampai di sebuah jalan  setapak yang aneh. Sebuah jalan kecil yang lurus, dengan bebatuan tak simetris dan ilalang panjang yang berdebu di sepanjang sisinya. Aku berusaha menajamkan mata, menebar pandanganku di sekeliling tempat asing ini dengan sedikit takut. Hutan ini terlalu sunyi. Tak berpenghuni. Tak ada kehidupan. Suram.

Tampak kiri dan kanan rapat berbaris  pepohonan. Menjulang tinggi diselimuti kabut abu-abu tebal. Bahkan aku sendiri sulit menebak warna daunnya. Sama dengan tanah yang sedang kuinjak sekarang. Aku tak dapat melihat warna tanah di bawah kakiku. Tanah yang seharusnya berwarna cokelat tua, kulihat seperti ditutupi tumpukan awan kecil yang bergulung-gulung. Seperti gumpalan kabut tetapi berwarna abu-abu, bergerak  maju menuju arah ke depan ujung jalan. Seolah sedang menggiring langkahku untuk maju melangkah, aku sejenak waspada dan menahan langkah. Aku bahkan tidak melihat kakiku sendiri dengan jelas. 

Apakah sekarang sudah sore? Langit di atas sana kelihatan mulai kehilangan warna. Mulai redup dan tak berbintang. Beruntung masih menyisakan sedikit sisa semburat cahaya untuk menerangi hutan sunyi.

Hampir tidak ada penerangan di sekitar sini, kecuali terlihat setitik cahaya yang jauh di ujung jalan sana. Tak ada suara kicau burung. Tak ada suara katak atau serangga pohon dan semacamnya. Semua begitu tenang dan sunyi. Tempat apa ini, ya? Mengapa aku sendiri tidak ingat bagaimana bisa berada di dalam hutan sunyi ini? Mau kemana sebenarnya aku ini? Aku tak ingat apa-apa.

Kecemasanku perlahan mulai merayap. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padaku? Kepada siapa aku minta tolong? Tiba-tiba wajah-wajah familier melintas. Wajah Ayah. Wajah Ibu, juga wajah ketiga kakakku, Mbak Sarah, Mbak Santi dan Mbak Sasa. Aku menarik napas lega. Ternyata otakku masih bekerja. Aku masih mengingat wajah mereka satu persatu.

Jadi? Bukankah aku harus segera pulang, supaya mereka tidak cemas mencariku? Aku memutar seluruh badanku ke belakang, berniat  pulang.

Eh, tapi tunggu, tunggu! 

Siapa yang cemas mencariku? Memangnya siapa yang akan mencariku?

Aku mendengus kesal. Tiba-tiba aku berubah pikiran. Aku tidak mau pulang. Sejenak rasa pedih yang sulit terusir dari dalam hatiku mulai merintih. Sekuat tenaga aku berupaya mengusir kepedihan itu, semakin kuat pula kepedihan itu menempel erat.

(Bersambung)


Cikarang, 06 Maret 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik