HUTAN SUNYI (3)


 Oleh : Lidwina Ro.  


   Setitik cahaya itu ternyata sebuah pintu gerbang besar berwarna kuning keemasan, berkilau luar biasa megah dan bercahaya. Pintu gerbangnya tinggi sekali dan kokoh. Aneka warna batu permata bersinar-sinar menghiasi seluruh permukaan pintu gerbang yang besar itu. 

   Dari luar aku dapat sekilas melihat taman bunga yang luas di balik pintu gerbang yang terbuka sedikit itu. Aku terperangah takjub melihat keindahan taman bunga itu. Bagaimana ya, aku menggambarkannya? Pokoknya sangat bertolak belakang dengan hutan sunyi yang semua berwarna abu-abu.

   “Kelak kamu boleh masuk ke taman ini. Tapi tidak sekarang, Sekar.”

   “Apa? Benar aku boleh masuk ke taman bunga itu, Oom? Kapan?” tanyaku terkejut tetapi antusias bercampur gusar. Perasaanku seolah melambung tinggi, antara bahagia dan tak percaya.

    “Setelah tugasmu selesai.”

   “Tugas? Apa tugasku?” Alisku berkerut.

   “Tugasmu adalah menjaga ibumu. Dampingi dan beri semangat padanya.”

   “Tunggu Oom. Apa Oom juga mengenal ayah?”

   Lelaki dengan wajah bersinar itu tersenyum sambil mengelus rambutku.

   “Ampuni ayahmu. Kau hanya harus bertahan sedikit lagi. Jangan menyerah. Teruslah berdoa untuk ayahmu agar cepat sadar dan menyayangi kalian kembali.”

   Heh! Aku lagi-lagi hanya bisa melongo kaget. Oom ini juga tahu tentang Ayah! Siapa sih, Oom ini sebenarnya?

   Oom itu tersenyum, seolah tahu apa isi kepalaku. Dia kembali mengusap kepalaku dengan lembut. Kepedihan hatiku seakan perlahan-lahan luntur. Seperti juga air mataku yang juga runtuh perlahan. Ada damai yang tidak bisa aku jelaskan dengan tepat. Hanya air mata ini tak berhenti menetes. Seolah melepas segala penat yang lama terpendam.

   “Jangan takut. Semua akan baik-baik saja. Kamu anak yang baik dan kuat, Sekar.”

***

   Suara pekik gembira Mbak Sarah mengagetkan aku. Lalu sayup-sayup aku mendengar Ibu mengucap lirih doa dengan penuh kelegaan. Mbak Santi dan Mbak Sasa tak henti mengguncang lenganku sambil memanggil terus namaku. Aku ingin membuka mata, ingin mengusap sudut mataku yang basah, tapi tidak bisa. Kepalaku masih terasa berat dan gelap semua. 

   “Sekar, buka matamu.”

   Itu suara ibu! Tanganku menggapai udara, dan Ibu segera menangkap tanganku serta menciuminya. Aku yakin Ibu menangis lagi karena aku merasa tanganku basah.

  ***

   Kata Mbak Sarah, aku sudah tidak bernapas lagi setelah aku kejang karena panas tinggi selama tiga hari. Tidak ada respons sama sekali. Kata Mbak Sarah, aku pasti sudah terbang jauh melayang di atas awan.

   Hei! Apakah di atas awan ada hutan sunyi berwarna abu-abu? Lalu mengapa aku sekarang sudah ada di sini? Siapa yang membawaku kembali ke rumah? Siapa yang menyembuhkan panasku? Apakah Oom itu? 

   Lalu dimana Oom itu sekarang? Apa dia sudah kembali ke hutan sunyi lagi? Apa dia tinggal sendirian di sana? Ya, ampun! Aku bahkan belum sempat bertanya siapa nama Oom itu! 

   “Di-di mana Oom itu?”

Semua mata menatapku dengan keheranan. 

   “Oom? Oom siapa? Oom apa maksudmu Sekar?”

   Aku cepat-cepat menggeleng. Mustahil menerangkan pada mereka kalau aku sendiri tidak tahu nama Oom itu. Ah, mengapa aku tiba-tiba merindukan hutan sunyi?

(Selesai)

Cikarang, 07 Maret 2022

  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik