SETANGKUP ROTI TAWAR
SETANGKUP ROTI TAWAR
Oleh : Lidwina Ro
Sekar menatap setangkup roti tawar yang disodorkan oleh Rafika dengan mata yang bimbang. Terlihat oleh sudut mata Sekar, lumuran selai cokelat pada pinggiran roti tawar, menandakan betapa limpahnya selai cokelat dalam roti tawar itu. Hm, pasti lezat sekali! Perut Sekar langsung berbunyi pelan.
Seketika Rafika tertawa kecil demi mendengar bunyi perut temannya itu. Sekar tertawa kecut. Pipinya terasa panas karena malu.
Kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar Negeri 1 memang sudah usai. Mereka berdua sedang duduk di tangga paling bawah gedung sekolah, menanti gerimis reda.
“Ayok makan saja,” desak Rafika tidak sabar.
Sebenarnya Sekar masih bisa menahan lapar. Tadi pagi Sekar sudah makan nasi goreng buatan Nenek. Nasi bekas sisa kemarin malam bisa menjelma nasi goreng yang enak bila yang mengolah adalah Nenek.
“Duh, kamu, Kar! Ayo bantu aku makan bekal. Aku tidak akan habis kalau makan ini sendiri,” ujar Rafika sambil menunjukkan tempat bekalnya. Terlihat masih ada tiga tangkup roti tawar lagi, sama seperti yang ada dalam tangan Rafika.
Melihat wajah memelas Rafika, akhirnya Sekar jadi tidak enak hati, dan akhirnya mengangguk, menerima roti tawar dengan selai cokelat yang menggoda itu.
Senyum Rafika mengembang sumringah, dan mereka mulai makan roti tawar bersama-sama.
“Terima kasih, ya, Kar. Sejak kamu sering mengajari aku matematika sepulang sekolah, sekarang nilai matematika aku jadi lumayan. Mamaku tidak pernah marah-marah lagi.”
Sekar tersenyum senang sambil mengangguk bisa membantu Rafika -murid baru pindahan dari Bandung- karena mulutnya penuh dengan roti tawar yang lezat.
“Kapan-kapan main ke rumahku, ya, Kar. Nanti pulangnya biar Pak Man yang antar, begitu kata Mama. Janji, ya?”
Sekar melotot. Hah? Main ke rumah Rafika? Dan naik mobil mewah milik Rafika?
Belum habis keterkejutan Sekar, tiba-tiba Rafika berdiri sambil meletakkan bekal makannya di pangkuan Sekar.
“Eh, itu pak Man sudah jemput aku. Roti ini buat kamu semua saja. Makan, ya, Kar. Semua ini disiapkan Mama untukmu, lho! Bye, Sekar!” seru Rafika, lalu berlari kecil menghampiri sopir keluarganya yang baru tiba, dan celingukan mencari sang majikan kecil.
“Eh, Fika!” seru Sekar tak berdaya. Dari dalam mobil, Rafika melambaikan tangan.
***
Hanya butuh waktu setengah jam, akhirnya Sekar sampai di rumah. Nenek dan adiknya yang bernama Bunga, tampak menunggu di depan teras. Sudah sejak kecil, Sekar dan Bunga di asuh oleh Nenek. Ibu menjadi TKW, dan jarang sekali pulang. Sedang bapak pergi entah ke mana. Sekar bahkan tidak ingat wajah bapaknya lagi.
“Lihat, Bunga. Mbak Sekar punya roti enak untukmu.”
Anak perempuan berumur empat tahun itu tersenyum lebar, dan mencium-cium bau roti tawar yang wangi aroma selai cokelat itu sebelum mencicipinya.
Memang hanya setangkup roti tawar berselai cokelat. Tapi pada kenyataannya, makanan seperti itu adalah makanan mewah dan istimewa di rumah.
“Dan ini untuk Nenek.”
Wanita tua dengan rambut yang nyaris semua berwarna putih keperakan itu, tersenyum kecil dan menatap Sekar dengan mata berkaca-kaca.
“Kamu saja yang makan, nduk.”
“Tadi aku sudah, Nek. Rafika memberiku tiga roti tawar tadi.”
“Rafika membagi bekalnya lagi?” tanya Nenek dengan haru. Sekar memang setiap hari bercerita pada Nenek, apa saja yang terjadi di sekolah.
“Kata Rafika, mamanya yang menyuruh. Karena aku sudah membantunya mengajari matematika.”
Nenek tersenyum bangga sambil mengelus rambut Sekar.
“Sekar akan belajar dengan rajin, Nek. Kalau sudah besar dan lulus, Sekar akan mencari kerja. Dan kita akan sarapan roti tawar seperti ini setiap pagi. Dengan selai cokelat juga keju. Iya, kan, Bunga?”
Adik kecil Sekar mengangguk-angguk sambil menjilati bibirnya yang belepotan penuh cokelat. Sementara Nenek diam-diam menyeka air mata dengan punggung tangannya yang keriput.
(Selesai)
Keren.
BalasHapusTop 👍
BalasHapus