Menggantung Leon
MENGGANTUNG LEON
Aku diam-diam sedang mencuri pandang pada Leon. Tidak hanya tampan dan jangkung tapi Leon juga bukan type orang yang suka tebar pesona. Cukup dengan menatap santai dan menjawab pertanyaan lawan bicaranya, Leon sudah mampu membuat gadis-gadis kelimpungan. Leon berdiri di depan kelas XII A, tertahan oleh kerumunan teman sekelasnya.
Lihat saja Weni, kedua matanya seperti hampir keluar dari cangkangnya saja saat berbicara dengan Leon. Dan Arina? Gadis itu berlagak seperti Miss Universe, betul-betul sok centil selalu mengibaskan rambutnya yang panjang legam itu, mencari perhatian. Sedang Ajeng malah mulutnya sedikit terbuka saat meresapi ketampanan Leon. Sungguh pemandangan yang cukup menggelikan.
Tepukan di bahu membuatku terkejut.
“Ikut nonton, yuk, Lin,” ajak Tasya. Matanya yang bulat indah dengan bulu mata lentik selalu membuatku iri.
Aku tersenyum sambil menggeleng pada teman sebangkuku.
“Tidak sekarang, ya, nona. Aku harus pulang sekarang, bantu-bantu ibuku.”
“Ah, tanpa kamu semua jadi nggak seru, Lin!”
Aku hanya terkekeh melihat Tasya cemberut lucu dan pergi pulang.
Seperti biasa aku pun harus buru-buru pulang sebelum turun hujan. Masih banyak yang harus aku kerjakan di rumah. Kasihan lbu sendirian memasak dan mengurus usaha katering hanya dibantu dengan Mbok Imah.
Setelah membereskan buku dan memasukkan dalam tas punggung, aku bergegas ke luar kelas. Perutku sudah mulai lapar. Sejak pandemi, kantin di sekolahku memang tutup. Sarapan nasi goreng tadi pagi, tidak cukup lagi untuk menahan dan mengganjal rasa lapar.
Angkot yang aku tunggu belum ada yang berhenti menyisakan satu kursi kosong untukku. Semua angkot sudah penuh. Aku melirik arloji dengan resah. Di atas langit mulai gelap. Sebentar lagi pasti hujan.
Tiba-tiba sebuah motor Vario hitam berhenti tepat di depan. Seseorang mengulurkan helm kepadaku. Leon!
“Cepat naik, sebelum kau kehujanan.”
Aku celingukan. Melihat ke kanan dan ke kiri.
“Sudah, tidak usah khawatir. Tidak ada siapa-siapa di sini yang akan melihat kita,” bisik Leon sambil tersenyum geli.
Aku menimpuk pelan lengan Leon dengan helm yang dia beri.
Leon malah tergelak. Dia lalu menarik napas panjang, dan menatapku dalam.
“Lagian, mengapa juga kau ketakutan sekali kalau ketahuan sama teman-temanmu kalau kita memang jadian.”
Aku cemberut. Tentu saja teman-temanku tidak boleh tahu. Paling tidak untuk sementara ini.
Bukan karena apa. Aku hanya masih belum percaya, kalau ternyata Leon malah menaruh hati padaku sejak kelas X. Entah mengapa Leon tetap bertahan menyukaiku walaupun aku sudah menggantungnya selama dua tahun lebih.
“Lindria, apa kau masih tidak percaya kalau aku benar-benar menyayangimu?”
Aku tersenyum dan mencubit pinggang Leon, lalu naik di belakang motornya.
“Sudah, ayo, antar aku pulang, Leon.”
Dalam hati aku terus berjanji, sebelum aku yakin benar akan kasih sayang itu tulus untukku, aku akan terus menggantungmu, Leon!
lidwina_ro, Ckr 030222
Komentar
Posting Komentar