KARENA CABAI
KARENA CABAI
Oleh : Lidwina Ro
Eni mencubit pinggangku. Tidak terlalu sakit, tapi cukup membuat aku kaget dan berhenti mengunyah bakwan jagung. Jam istirahat sekolah segera berakhir, jadi aku harus buru-buru menghabiskan nasi sambal tumpang. Soalnya tadi pagi aku tidak sempat sarapan.
“Ada apa, sih, En?” Aku menoleh menatap Eni yang tersenyum-senyum.
“Duh, Lin. Pelan-pelan kalau makan. Kau seperti tidak makan seminggu saja.”
“Ih, bodo amat! Lapar, tahu!” Aku mencomot satu gorengan bakwan jagung lagi. Sumpah, bakwan jagung buatan Bu Darman begitu enak. Garing di luar, empuk di dalam. Kadang-kadang aku bisa menghabiskan empat bakwan dalam sekali jajan. Dengan satu cabai saja. Aku tidak kuat makan cabai. Air mataku selalu mengucur deras bila makan cabai.
Eni cekikikan sambil menutup mulutnya. Tangannya kembali mencubit pinggangku.
“Ih, sableng, aku bilang pelan-pelan dikit makannya, Lin! jangan kayak Buto Ijo.”
“Memang kenapa sih, En?” Aku hanya tertawa kecil melihat Eni, sahabatku sewot.
“Itu ... ada Erik sedang lihat kamu terus. Eh, jangan langsung tengok, ya!”
Mendengar nama Erik keluar dari mulut Eni, aku langsung tersedak. Wah, celaka dua belas, mengapa juga Erik bisa jajan ke kantin SMP? Apa kantin SMA sekolahnya tutup? SMP dan SMA kami kebetulan bersebelahan.
“Kok baru sekarang sih, kamu ngomong?” omelku pada Eni. Diam-diam aku memang naksir Erik, anak SMA yang jangkung itu. Eni sudah tahu.
“Bodo amat!” balas Eni sambil meneruskan makan nasi lodeh.
Aku cemberut. Sedikit menyesal. Duh bagaimana kalau Erik sampai tahu lahapnya aku makan?
“En, tadi dia lihat aku lama nggak?” bisikku tanpa berani menatap keberadaan Erik.
“Makanya, bertobat! Jadi perempuan itu yang agak alim kek, lemah lembut, gitu. Rambut dipanjangin dikit. Pakai bedak tipis-tipis. Pakai parfum sedikit.”
Aku menginjak kaki Eni sambil menahan tawa. Mana bisa aku jadi perempuan alim seperti yang Eni bilang? Ah, Eni ngaco!
“Susah En, aku nggak suka ribet,” bantahku seperti biasa.
“Eh, Erik kemari Lin,” bisik Eni sambil memperbaiki duduknya dan menyetel senyum manis. Aku melongo. Mengapa jadi Eni yang genit?
“Hai, Lintang.”
Aku menatap gugup ke arah Erik. Mencoba mengukir senyum lebih manis dari senyuman Eni.
“Apa Mega masih sakit, Lin?”
“Hm? Mbak Mega? Oh ... i-itu, Mbak Mega sudah membaik. Hanya flu. Besok juga kembali sekolah.”
Erik tersenyum dan menatap lekat. Aku kelimpungan, tidak betah berlama-lama di bawah tatapan mata elang Erik. Jadi menyambar gelas es teh, dan pura-pura sibuk mengaduk dengan sedotan.
“Salam sama Mega, ya, Lintang.”
Sepeninggal Erik, Eni kembali mencubit pinggangku.
“Apa Erik naksir kakakmu, Lin? Katamu mereka teman sekelas, bukan?”
“Tapi Mbak Mega sudah lama punya pacar, Mas Abram,” bisikku.
Eni manggut-manggut sambil menyelesaikan makan.
***
Siang ini sangat terik. Aku dan Eni tidak pulang dulu. Tapi mampir ke kantin Bu Darman. Sementara Eni memesan es degan, aku mulai memilih-milih bakwan jagung dan cabai yang paling kecil.
Tiba-tiba telingaku menangkap tawa yang aku kenal. Tawa Mbak Mega! Aku menoleh ke arah sumber tawa, dan melihat meja di sudut kantin. Benar, itu Mbak Mega dengan seragam putih abunya sedang bercanda riang dengan ....
Aku menahan napas. Erik!
Hei, Lin! Mereka teman sekelas! Otakku berusaha berprasangka baik. Kalau teman sekelas mengapa mereka begitu akrab? Mengapa Mbak Mega begitu bahagia dan tertawa lepas bersama Erik? Dan mengapa Erik sekilas mengelus rambut Mbak Mega dengan sayang?
Hatiku tiba-tiba menjadi sumpek dan sesak. Sangat sesak. Seperti ada seonggok duri yang menggumpal di tenggorokan. Perihnya sampai masuk ke dalam tulang.
Apakah karena aku hanya sekedar anak SMP di mata Erik? Atau karena aku terlalu tomboi di mata Erik? Tapi mengapa hatiku teramat sakit melihat kebersamaan mereka?
“Hei, Lin! Kenapa kamu menangis?” Eni datang sambil membawa dua gelas es degan.
Aku menangis? Benarkah aku menangis? Aku tersenyum pada Eni sambil menyodorkan cabai dan bakwan jagung.
“Karena cabai. Kamu tahu, kan, aku tidak kuat makan cabai.”
Eni cekikikan. Dan menyambar sebuah bakwan jagung lalu mengunyahnya dengan cabai hijau.
Sementara mataku terus berlinang air mata. Bukan karena cabai. Bukan. Tapi karena melihat kemesraan yang ada di sudut meja kantin Bu Darman.
-selesai-
Cikarang 020222
Komentar
Posting Komentar