HARGA DIRI


 HARGA  DIRI


     Lilin menatap ibunya tidak berkedip. Ada sesuatu yang ingin dia tanyakan, tetapi dia sedikit ragu. Apa benar selama ini Ibu berbohong kepada dirinya? Kelihatannya tidak mungkin. Tetapi  bagaimana dengan kejadian yang tadi siang dia alami di depan pintu gerbang sekolah? Lilin menjadi penasaran. Siapa sesungguhnya lelaki yang berada di dalam mobil yang memanggil namanya tadi?

    “Ada apa Lin? Sudah makan, belum? Ibu masak semur kesukaanmu itu.”

   Wanita dengan tubuh kurus itu menoleh sekilas ke arah gadis cilik yang sedang duduk di sudut kursi dapur dan meremas tangan dengan gelisah.

    Lilin terkejut. Bayangannya pada seorang bapak yang sedang menjemput seorang anak perempuan lain tadi menjadi lenyap. Anak itu sebaya dengan dirinya. Mungkin dari kelas sebelah. 

“Tolong, ambilkan telur di meja makan, Lin. Lalu segera makan,” pinta Ibu sambil menakar tepung terigu dengan teliti. 

    Kelihatannya Ibu sedang banyak pesanan bolu. Sudah ada dua loyang bolu zebra di atas meja dapur. Mungkin bukan waktu yang tepat untuk bertanya akan sesuatu hal yang sangat mengganjal pikirannya. Lilin belum berani bertanya sekarang, atau mungkin bertanya pada Mbak Luna saja.

    “Siapa yang memesan bolu, Bu?” tanya Lilin sambil meletakkan satu keresek telur di meja dapur. 

    Ibu tersenyum kecil sambil mengusap peluh di pelipis. Sudah lama Ibu menerima pesanan kue. Tidak hanya tetangga, tetapi usaha kecil Ibu memang sudah lumayan dikenal orang, karena Mbak Luna memasarkan secara online juga.

    “Ini bolu pesanan Bu RT, untuk selamatan nanti malam. Tinggal dua resep lagi sudah selesai. Sore nanti Mbak Luna yang antar ke rumah Bu RT.”

   ***

   “Mbak Luna,” bisik Lilin pada kakaknya yang sedang serius mengerjakan tugas sekolah.

    Luna menoleh ke belakang, mengerutkan alis saat tahu adiknya ternyata belum tidur.

    “Heh? Kau belum tidur, Lin? Ada apa?” tanya Luna sambil memutar kepalanya kembali, lalu melanjutkan menulis PR.

    “Boleh Lilin tanya?”

    “Tanya saja.”

    “Sebenarnya Bapak itu ... di mana?”

    Tangan Luna seketika membeku. Tak bisa menulis lagi. Konsentrasinya langsung pecah. Mata Luna menatap kosong ke depan. 

    Lilin turun dari kasur, mendekati sang kakak yang mematung, tak bersuara.

    Luna menoleh dan mendesah berat saat menyadari Lilin sudah ada di sampingnya. Lilin menatap lekat pada kakaknya.

    “Mbak ....”

    Luna tidak berani menoleh, dia memilih menunduk dan memaksa tangannya untuk kembali menulis jawaban PR yang tadi ditundanya. Ada pedih yang menyelinap di hatinya saat Lilin menanyakan Bapak.

    “Tumben kau bertanya Bapak. Ibu kan sudah menjelaskan pada kita, mengapa kita hanya bertiga saja bersama Ibu. Bapak pergi, Lin. Tidak akan kembali lagi,” ujar Luna berusaha bersuara biasa.

    Lilin menggeleng kuat-kuat. 

    “ Tapi aku kemarin melihat Bapak, Mbak!”

    Luna menoleh dengan wajah pucat, menatap sang adik tak berkedip dengan penuh tanda tanya.

    “Dimana?”

    “Di sekolah Lilin.”

    “Apa? Bapak ada di sekolah dasar kamu? Bagaimana mungkin? Memang dari mana kau tahu kalau itu Bapak?”

    “Aku sebenarnya tidak tahu wajah Bapak, Mbak. Tapi kelihatannya Bapak tidak lupa pada wajahku. Bapak malah yang duluan memanggilku.”

    Luna menatap adiknya tidak percaya. 

    “Bagaimana kau langsung percaya kalau itu Bapak? Sudah lah, Dek. Mungkin itu orang lain yang kebetulan tahu namamu. Ayo, kita tidur.”

    “Aku tidak bohong, Mbak! Bapak memanggil namaku karena Bapak melihat ini ...”

    Lilin mengulurkan pergelangan tangan kanannya, dimana ada tompel kecil di situ. Tanda lahir yang tak bisa menipu. 

    “Bapak menjemput anak lain. Sepertinya dia temanku, tapi dari lain kelas. Bapak memanggil namaku saat aku lewat mau pulang.”

    Luna membeku dalam diam. Bahkan lidahnya sekarang menjadi kelu. 

    “Jadi ... apa benar dia Bapak, Mbak?”

    Melihat sinar mata adiknya yang kebingungan bercampur penasaran, akhirnya Luna berdiri, dan menarik adiknya untuk kembali ke tempat tidur.

    “Baiklah, ayo kita tidur dulu. Besok kita masih sekolah. Nanti Mbak tanyakan pada Ibu.”

    Secercah senyum terbit di mulut Lilin. Dia menurut ketika sang kakak menyelimutinya. 

  ***

    Sementara di luar kamar, seorang wanita kurus, diam-diam mendengar percakapan kedua putrinya sambil menggigit bibir keras-keras, menahan tangis.

    Entah, apa besok waktu yang tepat untuk mengatakan pada si bungsu, bahwa sebenarnya Bapak mereka memang sudah pergi? Tepatnya memutuskan pergi dari kehidupan mereka, dan memutuskan untuk menikahi wanita lain. Bisakah anak sekecil Lilin mampu menerima utuh kisah Bapaknya nanti?

    Luna si sulung sudah cukup umur untuk mengerti keadaan sebenarnya, bahwa dirinya tidak sudi di madu oleh bapaknya. Lebih memilih hidup berpisah dan mandiri. Lalu bagaimana menjelaskan pada Lilin yang masih sekolah dasar itu? Malam semakin larut, menemani air mata seorang wanita kurus yang sedang mempertahankan sekeping harga diri yang sudah retak. Karena hanya itu yang masih tersisa.


lidwina_ro, Cikarang 060222





    





    




    



   

   


   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG BATU

BLENDER AJAIB

KUE BOLU