CINTA SEMU (6)


 Cinta Semu (6)

Oleh : Lidwina Ro


    “Bagus bukan? Kau suka, Mel?”

    Amel tersentak kaget. Tante Dewinta tiba-tiba sudah berada di kamar dan merengkuh bahu Amel dengan lembut. Karena asyik mengagumi cincin mawar batu biru itu, Amel sampai tidak mendengar suara langkah kaki wanita itu masuk ke dalam kamar Rey.

    Buru-buru Amel menutup kotak beludru biru itu dengan semburat merah di pipi. Ah, dia ketahuan membuka barang milik Rey. Ya, ampun! Malu!

     “Sebenarnya sudah lama Rey membeli cincin itu. Panjang ceritanya. Biar Rey yang menceritakannya nanti.”

    Amel mengangguk-angguk, dan meletakkan kotak beludru itu ke tengah nakas. Oh ya, tentu saja Rey akan membelikan cincin terbaik untuk kekasihnya. Dan sayang sekali cincin itu tidak akan sampai pada pemiliknya, karena sebentar lagi Rey malah akan bertunangan dengan dirinya. Kasihan sekali gadis itu. 

     Tante Dewinta duduk di sisi ranjang, dan matanya mengedar ke sekeliling kamar. Ada kabut dalam kedua mata wanita itu. Ah, mengapa sepertinya Tante Dewinta sedang menahan tangis?

    Amel mendekat, dengan hati-hati menggenggam tangan Tante Dewinta yang semakin kurus. Amel mencoba menenangkan wajah cantik yang mulai gelisah itu. Kerut di sudut mata wanita itu makin dalam menyembunyikan kesedihan.

    “Tante baik-baik saja, kan? Jangan membuatku takut.”

    Tante Dewinta tersenyum kecil, dan mengusap pipi Amel dengan lembut. Memandangi wajah Amel lama dengan sinar mata penuh sayang.

   “Tante akan baik-baik saja setelah kalian bertunangan, Sayang. Dan kalian pun akan baik-baik saja. Percayalah pada Tante. Ya?”

    Entah apa yang membuat wanita ini bersikeras. Yang Amel tahu, saat ini perasaannya berkata, kalau dirinya tidak mungkin bisa menolak permintaan Tante Dewinta. Kelihatannya kali ini dia memang harus ... membahagiakan orang lain dari pada membahagiakan dirinya sendiri. Pilihan yang sok manis atau tragis?

    “Berjanjilah pada wanita tua ini, Amel.” Suara yang bergetar itu sejenak membuat hati Amel ikut larut dalam kesedihan.

    Amel memeluk Tante Dewinta. Runtuh sudah semua harapannya mencari jalan dan celah untuk membatalkan pertunangan. Kepala dan hatinya terlanjur berdenyut sakit. Kalah atau mengalah tak ada bedanya lagi sekarang.

  ***

    Akhirnya semua tiba, dan harus dijalani. Ujian atau takdir tak masalah lagi. Entah apa yang ada di balik hati mereka semua ketika acara pertunangan berjalan dengan sempurna. Bukankah hati dan wajah tidak selalu mencerminkan atau menyuarakan hal yang sama?

    Amel hanya yakin dua orang, yaitu Ibu dan Tante Dewinta yang wajah dan hatinya sama bahagianya di hari ini. Entahlah kalau tamu kerabat yang lain.

     Apalagi hatinya Rey. Amel malah baru bertemu dengan Rey pada hari pertunangan mereka karena baru pagi tadi dia kembali dari Bali. Tidak ada percakapan sama sekali menjelang pertunangan mereka. 

    Memangnya apa lagi yang harus Amel harapkan? Amel menatap Rey yang tampak bersih dan tampan siang ini. Mata Rey meskipun sedikit lelah, tetap bersinar jahil seperti biasa. Seperti wajah anak-anak yang puas karena berhasil mendapat mainan kesukaan. Huh!

    Kemeja biru muda pucat berlengan panjang membuat auranya semakin terpancar.

    Tetapi bukan debaran bahagia calon tunangan yang yang dirasakan Amel. Melainkan debaran kecemasan. Bagaimana mungkin setelah ini, dirinya akan separo terikat dengan wajah yang sama persis dengan Reza? Bersama Rey artinya dia akan menemukan wajah Reza kembali. 

    “Bisa kau tersenyum sedikit, Mel?” bisik Rey mengulum senyum sambil meraih jemari Amel.

   Amel ingin sekali menginjak kaki Rey. Di saat seperti ini, Rey masih saja mempermainkannya.

    “Kau tambah cantik, tahu kalau semakin sewot,” imbuh Rey sambil mengeluarkan kotak cincin dari saku celananya.

    Tapi hati Amel kemudian mendadak dingin, saat matanya tertuju pada cincin yang dimasukkan Rey pada jari manisnya. Dada Amel bergemuruh. Seperti ada ribuan kupu-kupu menyerbu masuk dalam dada. Kepalanya tiba-tiba terasa berat.

    “Kau sudah melihatnya, kan, Mel?” Rey mengedipkan sebelah mata.

    “Re-Rey, ini ... ini.”

    Rey meraih tengkuk Amel, dan mencium kening Amel.

    Semua tamu dan kerabat dekat bertepuk tangan dengan sukacita. Ibu bahkan kelihatan mengusap sudut matanya yang berair. Tante Dewinta juga menangis bahagia dalam pelukan suaminya.

    Hanya Amel yang ingin menangis. Benar-benar tidak bahagia. Tapi bibirnya tetap tersenyum. Mencoba ramah pada setiap tamu Tante Dewinta. Dengan putus asa Amel terus melirik pada cincin yang melingkar di jari manisnya. Begitu gemerlap, cantik dan pas di jarinya! Astaga, cincin mawar batu biru!

(Bersambung)


Cikarang, 120222

 


    



   

    



 

    




    

    








Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG BATU

BLENDER AJAIB

KUE BOLU