CINTA SEMU (4)


 Cinta Semu (4)

Oleh : Lidwina Ro


    Ada beberapa tanda tanya besar mengganjal di pikiran Amel. Salah satunya adalah gambaran seperti apa yang tersimpan di balik logika Rey tentang sebuah hubungan yang benar. Amel merasa apa yang sudah terjadi, mungkin belum terlambat. Masih bisa diatasi. Terutama bila Rey yang pertama kali sudi angkat bicara pada mamanya.

    Melihat Rey yang sudah menelan habis sepiring mie goreng ukuran jumbo dengan telur ceplok dan segelas air putih, Amel berharap otak lelaki itu mulai normal kembali. Semoga Rey bisa berpikir lebih jernih. Semoga celah itu ada.

    Rey kelihatan masih serius membalas pesan pada ponselnya, saat Amel kembali dari dapur setelah selesai membersihkan piring bekas makan. Perlahan Amel duduk, dan diam-diam mencoba memilih kalimat yang pas untuk membuka dialog. 

    Amel melirik Rey. Ah, lelaki itu masih menunduk menekuri ponselnya, mungkin sibuk dengan urusan kantor. Atau mungkin sibuk dengan yang lain. Ah, ya, tentu saja. Mana mungkin lelaki mapan seperti Rey tidak punya teman wanita? Tidak mungkin.

    “Ada apa melihatku terus? Aku tampan, kan?” Rey tertawa jahil. Dia kelihatan senang melihat wajah Amel merah padam.

    Amel hanya bisa mengumpat dalam hati dan mencoba untuk tetap duduk dengan tenang. Matanya berusaha fokus pada lelaki jahil itu.

    “Apa pendapatmu tentang masalah ini, Rey?”

    Rey menutup ponsel, menaikkan alisnya, lalu menatap intens Amel. 

    “Masalah apa, Mel?”

    “Ma-masalah ... itu.”

    “Itu apa?”

    Amel menelan ludah. Setan satu ini, ya! Rey sedang mengerjainya atau apa? Tidak mungkin Rey tidak tahu kalau mamanya merencanakan sebuah pertunangan.

    “Itu Rey, niat mamamu akan pertunangan itu.”

    “Apa pertunangan itu masalah bagimu?” Mata Rey menyipit.

    Amel menelan ludahnya dengan susah payah. Menatap tak percaya pada makhluk Tuhan paling aneh ini.

    “A-apa ... apa tidak masalah bagimu?” tanya Amel dengan kepala yang tiba-tiba mulai pening.

    Ada senyum misterius di sudut bibir Rey saat kepala lelaki itu menggeleng pelan. Amel tidak dapat mengartikannya secara tepat apa arti senyum itu. Apa yang ada di dalam kepala Rey? Mengapa Rey tidak keberatan bertunangan dengan orang asing seperti dirinya? Ya, meskipun mereka kenal sejak kecil, tapi Amel tidak sedekat itu pada Rey. 

    “Tapi kita ... tapi kita tidak ....”

Amel menghela nafas. Merasa jengkel karena harus dia yang menjelaskan.

    “Tidak saling cinta, maksudmu, Mel?”

Mata Amel membulat, jangankan cinta! Saling mengenal dekat saja tidak! 

   “Aku rasa, aku rasa belum terlambat untuk membujuk mamamu, Rey.”

    “Membujuk, Mel? Untuk ...?”

    “Membatalkan pertunangan kita.”

    Hening yang dalam tiba-tiba menyelimuti ruang tamu. Rey larut dengan pikirannya. Dan Amel juga larut dengan pikirannya. Kedua mata mereka bertemu dalam satu titik dialog bisu yang gelap.

    “Aku tidak mau,” desis Rey pelan, setelah beberapa detik berlalu dengan sunyi.

    Amel lalu merasa matanya mulai menghangat. Hanya dengan melihat manik mata Rey saja, dia merasa kalau Rey akan memegang teguh ucapannya.

    “Tu-tunggu, Rey. Pikirkan lagi ....”

    “Kita jalani saja dulu, Mel. Masih banyak waktu agar kau tahu kalau ucapanku tidak salah.”

    Amel menunduk, matanya sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang dari tadi sudah ditahannya. Mungkin Rey melakukan semua ini demi mamanya. Baiklah. Karena itu haknya. Mungkin Rey ingin membahagiakan mamanya. Tapi bukankah Amel sebenarnya juga punya hak untuk memutuskan bagaimana dirinya ingin hidup? Mengapa harus kembali besentuhan dengan keluarga Tante Dewinta lagi? Apakah keluarga mereka itu tidak tahu betapa Amel sudah cukup menderita oleh ulah Reza? Mengapa Tante Dewinta masih tidak rela melepasnya pergi? Mengapa Rey, si jahil yang tak tahu sopan itu juga malah seperti mendukung mamanya? Apa mereka tidak punya hati? Atau ... jangan-jangan ada sesuatu yang Amel tidak ketahui?

 ( Bersambung )


Cikarang, 100222


 

     





    


    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG BATU

BLENDER AJAIB

KUE BOLU