CINTA SEMU (2)
CINTA SEMU (2)
Oleh : Lidwina Ro
Amel menatap Rey dengan sinar mata ragu. Setiap kali menatap lelaki itu, mendadak jantung Amel berdebar kencang. Wajah Rey itu ... seolah mengingatkannya dan membawanya ke suatu tempat yang penuh kabut dan menyesakkan dada.
Ini untuk yang yang ke tiga kalinya Rey mengajaknya keluar. Lebih tepatnya memaksa keluar untuk sekedar makan. Dan Amel tidak bisa menghindar bila harus berhadapan dengan Rey. Lelaki ini seperti punya seribu cara untuk membuatnya mati kutu dan menyerah.
“Ada apa? Masih jengkel, ya, sama aku?”
Amel gelagapan ketahuan mencuri pandang. Buru-buru dia membuang wajahnya ke piring gado-gado yang sudah dia makan separo.
“Kenapa? Nggak enak gado-gadonya? Apa kau ingin makan yang lain? Kau mau makan apa? Aku antar.”
Mata Amel langsung membulat, dan menggeleng buru-buru.
“Sudah, sudah ini saja Rey. Ini, porsinya terlalu banyak. Aku sudah kenyang, Rey,” tolak Amel berusaha tersenyum senatural mungkin.
“Kalau begitu habiskan sedikit lagi. Kau harus lebih banyak makan. Lihat, kau sekarang begitu kurus seperti papan.”
Wajah Amel memerah. Sambil menekan jengkel dalam hati, dia meneruskan makan. Tidak seperti Reza yang memperlakukannya begitu lembut dan sopan, Rey ini ... sungguh keterlaluan! Mulut lelaki itu seperti tidak punya filter kesopanan sama sekali!
“Kapan kau kembali ke Amerika?”
Rey tergelak mendengar pertanyaan Amel yang cukup menohok itu. Dengan lembut telunjuknya mengetuk kepala gadis itu beberapa kali.
“Apa yang kau pikirkan? Kau sudah bosan melihatku, ya?”
Amel menahan senyum, senang mengetahui kalau Rey paham apa kata hatinya. Ya! Jujur saja Amel bosan Rey setiap hari selalu datang untuk mengganggu. Mengapa Rey tiba-tiba pulang ke Indonesia? Apakah Rey sedang liburan?
“Jika aku kembali ke Amerika. Aku tidak akan berangkat sendirian.”
Ah, siapa yang peduli? Amel menarik tisu, mengelap bibirnya dan menatap Rey. “Aku sudah selesai, ayo pulang,” ajak Amel yang sudah tak sabar ingin pulang.
***
Amel terdiam sambil menatap Febian. Kali ini otak Amel buntu. Berharap menemukan kata yang tepat untuk menjawab Febian agar semua masalah menjadi jelas dan tidak ruwet. Sementara Febian masih menunggu penjelasan dari Amel dengan mata penuh kilat curiga.
“Jadi, siapa dia, Mel?”
“Namanya Rey. Dia ... kakak kembar Reza.”
Febian menatap lama Amel sebelum melepas tawa sumbang.
“Jadi ternyata Reza punya saudara kembar? Dan sekarang dia sedang mendekatimu?”
“Dia tidak mendekatiku. Aku sudah lama kenal dia, Feb.”
“Tapi aku juga lelaki, Mel. Aku juga pasti tahu, gelagat lelaki yang jelas-jelas menyukaimu. Dia hampir menjemputmu setiap hari di kampus.”
Amel menggeleng kuat-kuat. Tidak ingin Febian meneruskan kata-kata lagi. Bagaimana mungkin Febian mengira dirinya ada hubungan dengan lelaki tak tahu sopan santun itu? Dan bagaimana menerangkan pada Febian dengan tepat kalau semua ini juga karena menghormati persahabatan Mama? Bagaimanapun juga, Amel sudah menyayangi Tante Dewinta.
“Mel ....”
Amel dan Febian menoleh ke sumber suara. Urung untuk melanjutkan perdebatan mereka. Rey berjalan mendekati bangku di dekat pagar kampus, dimana mereka sedang duduk.
“Mama ingin bertemu kamu di rumah. Ayo, pulang sekarang.”
“Ada apa? Apa mamamu baik-baik saja?” Amel berdiri, tak sadar ada kecemasan yang ikut dalam nada suaranya.
Rey mengangguk singkat pada Febian, dan menarik tangan Amel untuk mengikutinya. Amel hanya bisa melambai pada Fabian dengan rasa bersalah.
***
(Bersambung)
Cikarang, 080222
Komentar
Posting Komentar