CINTA SEMU (1)


 Cinta Semu (1)


    Mata Amel membulat sempurna saat mobil grab yang mereka naiki berhenti tepat di depan rumah besar dan mewah yang sudah agak lama tak pernah dikunjunginya. Sontak Amel langsung menarik lengan ibunya, dan menatap bingung bercampur heran. Ada perih di hati yang tak bisa dihindarinya saat melihat kembali rumah itu.

    “Bu? Mau apa kita kita ke rumah Tante Dewinta?” tanya Amel dengan raut wajah tak mengerti. 

    “Kita tengok Bu Dewinta sebentar.”

    “Apa Tante Dewinta sakit?” Amel mengerutkan kening sambil mengekor ibunya dengan langkah ragu, yang sudah bergegas melangkah ke pintu gerbang rumah besar itu.

    “Tidak juga, tapi Ibu sudah lama tidak bertemu. Tadi dia telepon pingin Ibu mampir sebentar.”

    Ibu Amel dan Tante Dewinta memang sepasang sahabat sejak mereka SMA hingga menikah dan bahkan setelah punya anak. Kedekatan mereka bahkan sampai ke level konyol, yaitu perjodohan anak. Kedua ibu-ibu itu bahkan nyaris mewujudkan keinginan mereka kalau saja tidak terjadi peristiwa itu.

    Amel menarik nafas dalam-dalam. Mencoba mengenyahkan bayangan lelaki yang sudah mengambil pergi sebagian hatinya itu. Sampai k

ini dia masih ingin menyendiri. 

    Sementara ibunya sudah masuk ke dalam rumah besar itu, Amel lebih memilih duduk-duduk di gazebo taman. Pikirannya melayang jauh saat dia meraba kayu gazebo dengan perasaan pilu, tempat duduk yang dulu menjadi favoritnya agar bisa menatap bunga dan air mancur dengan leluasa.

    Ah, masih tempat yang sama. Masih pemandangan yang sama. Teduh dengan aneka bunga, rumput jepang, tanaman perdu, dan air mancur. Masih sama semua! Amel memejamkan mata, menghirup udara taman yang masih terekam baik baunya di memori. Perlahan sudut matanya basah saat dia mulai sadar bahwa ada yang berbeda kali ini. Ya, benar. Ada yang berbeda. Tidak ada Reza lagi! 

    “Mel?”

    Hm? Apakah ini hanya halusinasi? Sudah lama Amel merindukan suara Reza yang memanggil seperti itu. Wajah Reza yang menari dalam pikiran Amel, membuat sudut mata Amel semakin basah oleh air mata kesedihan.

    “Mel?”

    Kali ini Amel membuka mata, karena merasa ada yang menyentuh bahunya dengan hati-hati. Dan Amel hampir saja memekik karena terkejut melihat sosok lelaki yang sudah duduk di sebelahnya itu. Amel menutup mulutnya dengan mata membelalak. Jantung mendadak seperti ingin berhenti. Tangan Amel perlahan mulai dingin. Sebaliknya, lelaki itu malah tersenyum jahil. 

     “Tenang, Mel. Ini aku. Kau kayak melihat setan saja. Lihat ini aku.” Lelaki itu menyingsingkan sedikit lengan bajunya, sehingga Amel dapat melihat sekilas ada tato di situ.

   Amel mencoba mengumpulkan kesadarannya. Dalam hati dia mengutuk diri, mengapa sampai menjadi sebodoh ini. Hampir saja dia mengira Reza betul-betul ada di depannya tadi.

    “Sudah lama kita tidak bertemu. Kau bahkan mengganti nomor ponselmu. Kau baik-baik saja? Kau kelihatan kurusan.” Lelaki itu mengulurkan ponsel, menyuruh Amel mengetikkan nomer ponselnya.

    “Aku baik-baik saja Rey,” Amel memaksa tersenyum, dan mau tak mau dia mengetikkan nomor ponselnya. 

    Dari dulu perasaannya selalu tidak nyaman bila berada di dekat Rey. Meskipun Reza dan Rey adalah kembar identik, tetapi sifat mereka bertolak belakang. 

(Bersambung)

lidwina_ro , Cikarang, 070222

   





    



    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG BATU

BLENDER AJAIB

KUE BOLU