JURANG LUKA
JURANG LUKA
Kelihatannya pilihan Tante Murni tidak salah. Wanita pilihan Tante Murni itu memang berwajah cantik. Perawakan tinggi langsing, berkulit putih dan rambut di cat sedikit pirang dan tertata apik melintir di ujung. Bila berjalan, ujung rambut yang melintir itu akan berayun-ayun indah seirama dengan langkah kaki. Sangat pantas bila bersanding dengan Mas Erik, seorang dokter kandungan yang lumayan punya nama di kota ini.
Aku buru-buru menyelinap di balik deretan baju wanita yang digantung, saat Emili -adik Mas Erik- muncul dari belakang Tiara, wanita cantik yang sedang asyik memilih baju itu.
Sepatu sandal yang baru saja akan kucoba, aku ulurkan kembali ke tangan Mbak SPG. Tak aku hiraukan tatapan penuh tanya SPG sepatu berwajah manis itu. Pokoknya aku harus pergi dari sini. Hilang sudah keinginanku membeli sepatu sandal baru.
Aku bergegas menuju gerai makan yang beberapa menit kutinggalkan. Saat melihat Rico masih duduk di tempatnya seperti semula, aku tersenyum lega. Anak itu terlihat anteng dengan ponsel di tangannya. Pasti menunggu Leon yang masih sibuk antre di depan kasir sana. Tak sadar aku mendekap erat tubuh anak itu.
“Ada apa, Ma? Eh, mengapa menangis, Ma?” tanya Rico menatap heran pada sikapku yang mungkin aneh dimatanya.
Aku menggeleng, mengusap rambut ikal Rico sambil diam-diam menyeka embun bening yang sudah membasahi pipi.
Satu pembicaraan lama yang tak pernah benar-benar bisa sempurna aku lupakan, segera melintas di kepala. Satu persatu memaksa hadir.
“Rosa, aku harus menikahi Tiara. Kesehatan ibuku akan memburuk terus bila aku tetap bersikeras melawannya.”
Oh! Seandainya bisa, rasanya aku ingin membenturkan kepala di dinding sekuat tenaga sampai aku amnesia, dan tidak pernah ingat lagi kalau pernah ada dialog sepahit itu.
Tapi aku bisa apa? Haruskah aku ngotot demi mendapatkan Mas Erik, bersaing dengan Tante Murni, satu satunya orang tua yang dimiliki Mas Erik, sekaligus wanita tua sakit sakitan yang sudah melahirkan Mas Erik?
Sesungguhnya hari itu aku kalah sebelum bertanding, ketika Emili mengabari, bahwa Mas Erik -kakaknya- akhirnya benar-benar menikahi wanita pilihan ibunya. Sungguh rasanya hari itu langit seakan runtuh dan aku ingin sekali tenggelam ke dasar bumi.
“Kok cepat? Gak jadi beli sandal, Ros?” Suara bariton Leon sedikit mengagetkanku. Leon datang membawa nampan bento yang langsung di serbu oleh Rico.
Aku menggeleng. Tidak berani menatap mata Leon, karena dia jago menebak apa yang tersembunyi di balik mataku yang tak bisa di ajak menipu ini.
“Kau masih malas makan? Atau mau aku pesankan sesuatu?”
“Mama tadi menangis,” celetuk Rico enteng, di antara kunyahannya.
Aku melotot gemas pada Rico. Tapi anak itu malah cekikikan dan meneruskan makan.
Leon mengambil sumpit, dan menyusul makan. Dengan telunjuk tangan kirinya, Leon mengetuk punggungku.
“Ada apa, Ros?” bisik Leon, tetap dalam posisi menikmati bento.
Ah, seharusnya aku menolak ikut Leon seminar ke luar kota. Kalau saja aku tidak ikut, pasti aku tidak perlu bertemu dengan Tiara dan Emili di mal. Bertemu dengan mereka seperti membuka luka lama.
“Rosa? Ada apa?” ulang Leon
“Mau cepet pulang.”
“Heh? Kita baru saja sampai, dan kau mau pulang? Ada apa sih?” desak Leon.
“Ngantuk,” sahutku asal.
***
Seminar singkat kedokteran yang diikuti Leon hari ini sudah selesai. Karena seminar diadakan di kota asal kami, maka Leon mendesak aku dan Rico untuk ikut menemaninya, sekalian ziarah. Orang tuaku sudah lama meninggal, jadi tidak ada yang harus aku datangi di kota ini kecuali rumah Leon.
Bel pintu berbunyi saat aku menata baju dalam koper. Leon pasti sudah datang. Baguslah! Makin cepat makin baik jika lekas pergi dari kota ini. Entah mengapa aku masih saja gelisah sejak pertama kali kembali menginjakkan kaki di kota ini. Ingatan penuh luka itu selalu menjejali pikiran.
“Ma, ada yang nyari.”
Tanganku berhenti memasukkan baju ke dalam koper. Rico menunjuk ke ruang tamu, lalu rebah ke ranjang, sibuk kembali meneruskan game di ponsel.
“Siapa?”
“Tidak tahu.”
Aku berdiri dan menuju ruang tamu. Pintu depan terbuka sedikit. Rupanya Rico tidak menyuruh tamu itu masuk. Sekilas aku melirik halaman. Ada mobil asing yang terparkir di sana.
Aku melebarkan pintu. Dan seketika tubuhku kaku dan tegang demi melihat siapa yang datang. Mas Erik! Hm, pasti Leon yang memberitahu. Mereka berdua adalah sahabat sejak kecil. Dan mereka berdua pasti bertemu dalam seminar kedokteran kemarin.
“Rosa.”
Tanganku ingin sekali menutup pintu, tapi ternyata tenagaku menguap entah ke mana. Yang tersisa hanya rasa perih tiada tara, yang masih bercampur dengan sisa cinta yang sudah berkeping hancur.
“Leon yang memberi tahuku, kalau dia mengajak kalian ikut.”
Aku mencoba tersenyum dengan susah payah. Sungguh rasanya aku ingin memukul wajah Leon sekarang juga. Untuk apa juga Leon repot-repot membuatku semakin tak tenang?
“Jangan salahkan Leon. Bagaimanapun juga, Leon sahabatku sejak kecil. Kau baik-baik? Kau sehat?”
Aku mengangguk, membuka pintu lebih lebar dan membiarkannya masuk ke dalam rumah.
“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu, Rosa.”
Aku melirik dengan tatapan hampa dan luka. Tidak ada niat sama sekali untuk masuk dalam obrolan.
“Kau merawat dan menjaga Rico dengan baik.”
“Leon yang melakukannya,” sahutku cepat. Dan kulihat raut wajah Mas Erik berubah sedikit merah. Malu? Menyesal? Geram? Entahlah. Apa peduliku? Bukankah dulu, Erik sendiri yang pertama kali memutuskan untuk menikahi Tiara -terpaksa atau tidak- sebelum aku sempat bicara kalau sudah terlambat dua bulan. Dan bagaimana aku akan menjelaskan pada Mas Erik, kalau pernikahan Mas Erik dilangsungkan secara mendadak dan kilat? Bagaimana cara aku mengatakan pada Mas Erik? Bagaimana? Jadi tidak patut kalau Mas Erik geram kepadaku.
Aku yang memupuk, tapi orang lain yang memetik bunganya. Ah, sudahlah! Memang aku hanya seorang yatim piatu dari panti asuhan. Akan sangat memalukan bagi keluarga besar Mas Erik, kalau bersanding dengan seorang dokter lulusan luar negeri kebanggaan keluarga. Tapi siapa yang dapat mengatur datangnya cinta saat aku menjadi perawat dan sering bertemu dengan dokter Erik setiap hari di Rumah Sakit?
“Kau belum memberitahu Rico siapa aku, ya, Ros?”
Aku menghela napas dan membisu. Tidak tahu harus menjawab apa. Dari dasar hatiku yang paling gelap, aku ingin Rico hanya menjadi milikku seorang. Bukankah dulu Mas Erik juga pernah membisu saat meninggalkan aku? Hanya Leon yang jatuh kasihan padaku. Leon yang menolongku di saat aku terjepit. Leon juga yang mengambil risiko menarik aku agar aku tidak jatuh dalam jurang luka dan dendam.
“Aku sudah mau balik, Mas Erik. Mau bersiap-siap dulu,” ujarku lirih saat dari pintu depan, Leon masuk membawa tas keresek berisi oleh-oleh. Rupanya lelaki itu sengaja membeli oleh-oleh dulu dan membiarkan Erik menemuinya di rumah.
“Ros,” panggil Mas Erik.
Aku menoleh. Melihat kedua mata Mas Erik penuh dengan penyesalan yang dalam, membuat hatiku ikut teriris. Bagaimana pun juga, Mas Erik pernah lama mendiami hatiku. Aku masih bisa mengeja bahasa tubuhnya.
“Boleh aku menemui Rico di lain waktu?”
Aku terdiam, tak bisa menjawab.
Leon lalu menepuk pelan bahu Erik.
“Aku sendiri nanti yang mengantar Rico padamu, Rik. Tapi tidak sekarang.”
Aku terkejut mendengarnya. Tapi Leon hanya mengangguk ke arahku. Meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Dan seperti biasa, aku percaya pada Leon.
“Pa!” seru Rico nyaring.
Kami bertiga menoleh serentak pada anak lelaki berambut ikal yang tiba-tiba muncul di ruang tamu.
“Pesananku mana, Pa? Burger.”
Leon tertawa kecil, lalu mengulurkan kunci mobil pada Rico.
“Ambil di mobil, Sayang. Sepertinya Papa taruh di kursi belakang.”
“Makasih ya, Pa! Love you.”
Rico berlari kegirangan, menuju mobil Leon yang di parkir di halaman.
Sementara aku bergegas masuk ke dalam kamar, melanjutkan beberes baju. Angan dan harapanku terus melambung. Hidupku akan terus berjalan, walaupun hatiku masih tercecer dalam banyak ruang ingatan lama, yang seharusnya sudah kedaluwarsa.
( bersambung )
lidwina_ro , Ckr 270122
Komentar
Posting Komentar