LANGGANAN


 LANGGANAN 


Aku sampai sekarang masih heran mengapa Bapak meninggalkan Ibu. Bapak meninggalkan ibu begitu saja, seperti meninggalkan bekas piring kotor di tempat cucian. Tidak ada beban. Tidak ada urusan. 

Buktinya Bapak malah menikah lagi dengan wanita lain. Membangun rumah tangga baru seperti tidak punya tanggungan. Melupakan Ibu dan aku semudah membalikkan telapak tangan. Lalu, sebenarnya aku dianggap apa oleh Bapak? Beban?

Malam semakin larut. Gerimis yang baru saja berhenti menyisakan hawa sedikit dingin. Aku baru saja selesai menimbang gula pasir dalam plastik setengah kiloan. Lalu dengan rapi aku menumpuk di etalase warung, sejajar dengan tepung terigu, tepung beras dan lainnya.

Puas menata barang-barang di etalase, aku melirik wanita di depan warungku yang masih belum beranjak pergi. Sudah beberapa kali wanita bersama anaknya itu selalu singgah dengan setia makan nasi lodeh ditemani gorengan bakwan jagung.

Selain membuka warung kecil, Ibu memang sengaja menyempatkan memasak masakan sederhana seperti sayur lodeh labu siam, sayur asem, balado terong atau telur bumbu bali. Kebetulan warung ini berada di pinggir jalan. Peluang sopir angkot untuk singgah membeli makan atau sekedar membeli rokok selalu ada.

Diam-diam aku tersenyum menatap anak kecil sekitar lima tahunan yang makan dengan lahap disuapi ibunya itu. Lodeh masakan Ibu memang gurih dan lezat. Melihat gelas teh yang sudah kosong, aku segera menawarkan teh manis hangat yang baru.

Piring gorengan bakwan dan tempe mendoan juga terlihat hampir habis. Langganan baruku ini kelihatannya cocok dengan masakan Ibu. Aku tersenyum senang. Hatiku bertambah berbunga ketika sebuah motor datang menepi di depan warung. Ada pembeli lagi!

“Jam segini kok masih buka warungmu, Ti? Mana ibumu?”

Aku segera mengenali suara dan tubuh subur pak RT. Pak Danang memang sering membeli rokok di warungku.

“Ibuk sudah tidur dari sore, Pak. Agak meriang.”

Pak Danang mengangguk. Seperti biasa Pak Danang membeli rokok kesukaannya. 

Setelah menerima kembalian uang rokok, Pak Danang masuk ke dalam mendekatiku.

“Tumben belum tutup warungmu,” bisiknya pelan. Matanya nyalang menatapku.

“Masih menunggu mbak itu makan. Tuuh ....”

“Langganan baru toh?”

“Iya, Pak, langganan baru,” jawabku bangga. 

Bukannya pulang, Pak RT malah menyeret kursi bakso plastik, dan menatapku intens. Aku pun sedikit heran dengan tingkah laku Pak RT yang sedikit janggal. Hm, ada apa ini?

“Ti, bapak mau ngomong sesuatu. Kamu ikut bapak sebentar, ya?”

Tanganku yang baru saja mau membersihkan meja dapur dari tumpahan teh manis, segera berhenti di udara.

“Sekarang, Pak? Ada apa ya Pak?” Nah,  kan! Aku mengerutkan alis, sibuk menerka apakah kira-kira Ibu belum membayar iuran RT? Tunggu, tunggu! Atau Ibu punya hutang pada Pak RT yang tidak diketahuinya? Ah,ya! Pasti Ibu punya hutang nih! Bukankah beberapa Minggu ini warung sepi pembeli?

Aku mengikuti Pak RT ke depan warung dengan hati galau. Sejak ditinggal Bapak, memang membuka warung kecil ini adalah satu-satunya alternatif penghasilan hidup. Dari hasil berjualan di warung ini -dari pagi sampai malam- aku dan Ibu bisa bertahan hidup. 

Pak RT membawaku lebih jauh menyusuri tepi jalan tak beraspal. Dengan pasrah aku mengikuti sambil berdoa dalam hati agar hutang ibu tak terlalu banyak.

“Pak, se-sebenarnya berapa hutang Ibu?” Aku menarik tanganku, tak mau Pak RT membawaku berjalan lebih jauh lagi. Di warung kan masih ada mbak yang makan.

Pak RT menghentikan langkahnya setelah tiba di dekat jembatan, tak jauh dari warungku.

“Hutang apa,Ti?” Pak RT malah menatapku heran.

“Lho, jadi Ibu tidak punya hutang ?” Hatiku berbunga senang. Melayang sudah galauku entah kemana. Pak RT berdecak agak kesal. 

“Jadi, Pak RT mau bicara apa,to?”

Pak RT menunjuk ke arah jembatan. Aku mengangkat alis, tidak paham.

“Kau tahu, dulu ada kecelakaan angkot dan angkotnya menabrak jembatan, langsung terjun ke bawah?”

Aku mengangguk ragu. Sepertinya kejadian itu sudah lama sekali. Lha mengapa Pak RT tiba-tiba mengungkitnya? Aku terdiam, mencoba mencerna perkataan lelaki bertubuh subur itu dengan susah payah. Tetapi tetap saja aku tidak mengerti arah pembicaraan Pak RT, kecuali rasa lega bahwa Ibu tidak berhutang.

Pak RT menghela napas. Lalu kudengar dia merapal doa. Entah apa maksudnya. 

Pak RT yang seharusnya seumuran dengan bapakku itu, lalu mengajakku kembali ke warung. 

Wanita langganan baru dan anaknya itu sudah pergi. Nah,kan! Ini gara-gara Pak RT yang mengajakku ke tepi jembatan. 

“Tuh lihat, Pak, Mbak itu sudah pergi dan belum membayar tuh,” aduku dengan suara setengah menuduh. Bisa bangrut warungku kalau begini. Wah!

“Kemana Mbak itu, ya, Pak?” gerutuku sambil cemberut.

“Namanya Mbak Surti.”

Aku menatap heran Pak RT.

“Kok tahu Pak, yang makan tadi itu Mbak Surti?”

“Dia dan anaknya adalah salah satu korban penumpang angkot yang jatuh dari jembatan tadi. Kebetulan Surti adalah adik iparku.”

Aku memekik kaget. Lututku seketika langsung lemas. Pak RT menolongku duduk dan buru-buru mengambil segelas air putih. Aku meminumnya dengan tangan gemetar. Mencoba memutar ingatan kembali pada bayangan wanita dan anaknya yang makan dengan lahap. Entah mengapa aku tidak pernah melihat keganjilan pada tampilan mereka. Dan mengapa hanya Pak RT yang bisa tahu keberadaan mereka?

“Sudah malam,Ti. Beresi warungmu dan segera tutup. Cepat istirahat.” Pak RT berdiri, menarik napas panjang. “Dan kau ... jangan banyak melamun. Itu tidak baik.”

Aku hanya terdiam.

“Untuk apa yang mereka makan, ini Bapak saja yang bayar.” Pak RT meletakkan tiga lembar uang lima puluh ribuan di meja.

Aku asal mengangguk, masih bingung dan gemetar dengan apa yang sudah terjadi. Sementara aku bersikeras mengumpulkan bayangan wanita dan anaknya yang makan dengan lahap di warungku, otakku semakin menolak menemukan bayangan mereka lagi. Semua seolah lenyap dalam sekali sapuan angin malam yang meremangkan bulu kudukku.

Lidwinaro, Ckr 031221




 








 










Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik