GETUK


 GETUK

Semalam, aku dan si bungsu mengalami peristiwa agak horor. Hujan deras sekali. Hanya aku dan bungsu yang di rumah. Lainnya masih kerja, belum pulang. Keponakanku juga pas keluar, cari nasi goreng katanya.

“Bu ... Bu ....”

Ada suara memanggilku.

Aku menoleh ke arah bungsu. Tapi kok bungsuku tidak bereaksi. Apa aku salah dengar? Seperti ada yang memanggilku. Aku membuka pintu utama, melongok ke pintu gerbang, dan menunggu, kalau-kalau gerbangnya terbuka. Atau menggeser. 

Ternyata tidak. Jadi aku kembali rebahan di sofa. Masih malas mandi. 

Terdengar suara memanggil lagi.

“Kayaknya ada yang memanggil, ya?” Aku menatap bungsuku, mencoba mencari sekutu. Masak iya aku sendiri yang mendengar suara itu? Aku kembali berdiri, membuka pintu utama. 

“Nggak ada siapa-siapa, Mah,” jawab si Bungsu. Dia menghampiriku dan  ikut-ikutan melongokkan kepala. Tapi pintu gerbang memang tidak bergeser. Dan tidak ada bayangan tamu sedikit pun.

“Suara hujan itu, Mah!”

Aku menahan nafas, sambil menutup pintu kembali. Sementara hujan semakin deras. Aku yakin pendengaranku masih bagus. Atau, apa mungkin aku berhalusinasi sendiri?

Tapi sayup-sayup aku mendengar suara itu kembali.

“Ibu ....”

Wah, aku tidak betah lagi menghadapi ketidak pastian ini. Wek!! 

Jadi aku nekat mencari sandalku, lalu  menghampiri pintu gerbang sambil memegang payung. Entah untuk apa. Mungkin untuk jaga-jaga saja. Siapa tahu ada orang jahat. Wek!!

“Siapa, ya?” sapaku nekat. 

Tidak ada jawaban. Jantungku berdebar keras. Tapi rasa penasaran ini sudah tidak bisa menunggu lagi. Hati-hati aku membuka pintu gerbang.

Seraut wajah tidak aku kenal, tersenyum. Kelihatannya dia menggigil kedinginan karena kehujanan.

“Kamu ... siapa?”

“Saya Fajar, anak PKL, Bu, yang kemarin ijin mudik.”

Aku benar-benar tidak ingat siapa dia. Karena banyak anak PKL yang sering datang dan pergi di bengkel.

“Ini buat Ibu.” Anak PKL itu menyodorkan satu tas kresek kepadaku.

“Mengapa tidak masuk saja dari tadi. Ibu sampai takut.’

“Saya basah, Bu. Saya permisi dulu. Selamat malam.” 

Fajar pergi sebelum aku berterima kasih.

Dari dalam rumah, si Bungsu tertawa cengengesan.

“Kirain hantu, ya, Mah ....”

Aku ikut tertawa. Dan memukul ringan anakku dengan gemas. Penasaran aku  membuka isi tas kresek. Sesaat aku terdiam melihat isi oleh-oleh itu.

Sebenarnya hanya getuk biasa. Getuk goreng khas oleh-oleh Banyumas. Bukan getuk gorengnya yang membuat speechless. Tapi dulu, aku pernah menyaksikan ada ‘hantu’ yang memakan getuk goreng dengan lahap di depanku. Langsung habis satu besek sekali makan. Itu orang apa hantu?

Hua ha ha haaaaa ...

But anyway, thankyou, Fajar.

Lidwinaro, Ckr 091121





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik