TANTANGAN MENULIS OPINI
Judul : Dari Gunuang Omeh, ke Jalan Lain di Moskow, Menuju Hukuman Mati di Kediri
Penulis. : Heru Sang Awurmabumi
Berkali-kali aku membaca cerpen mas Heru Sang Awurmabumi untuk mencoba masuk ke dalam inti dan alur cerita yang mengambil latar belakang jaman pasca kemerdekaan. Untuk larut berimajinasi, membayangkan dan mencoba menggali inti dari isi cerpen beliau, rasanya aku belum sanggup. Sungguh salut pada mas Heru ini.
Kisah cerpen ini dimulai dari seorang sersan yang bertugas di markas militer di lereng gunung Wilis, Kediri di Jawa Timur. Pada saat itu petinggi militer di Jawa Timur akhirnya mengetahui persembunyian seseorang yang telah lama mereka cari, bersama anggota Gerilya Pembela Proklamasi lainnya. Komandan batalyon kemudian memanggil dan memerintahkan seorang sersan untuk membekuk dan menangkap orang itu, yang ternyata seorang pribumi asli Minang, Sumatera Barat. Petinggi militer telah menganggap orang tersebut sebagai pengacau jalannya perundingan antara Indonesia dan Belanda. Bahkan sebelumnya, pemerintahan kolonial sempat marah karena tulisannya yang berjudul “Tanah Orang Miskin.”
Akan tetapi, sebenarnya orang Minang ini bukan sembarang orang (menurut perkiraanku) Orang tersebut sejak kecil sudah mengecap pendidikan sampai jenjang tinggi di Belanda. Dia juga pernah tinggal di Uni Sovyet dan menjadi aktivis di Moscow, bahkan sempat bersebrangan pendapat dengan pimpinan Uni Sovyet. Dan seiring waktu dia memperjuangkan propaganda terhadap penindasan pemerintahan kolonial di Tanjung Morawa, Semarang dan Banten. Madilog adalah bukti kecintaannya pada negara Indonesia. Dia bahkan mencela idealisme yang diusung Muso. Orang Minang pendiri Partai Murba ini, sebenarnya hanya ingin pemerintah Indonesia, khususnya orang-orang di Jakarta yang terlibat dengan perundingan penting, tidak terlalu lunak dan terlalu berkompromi dengan pemerintahan Belanda. Tepatnya perjanjian Renville dan perjanjian Linggarjati.
Akan tetapi petinggi militer Jawa Timur (menurut perkiraanku lagi) sangat bersebrangan pendapat dengan orang Minang ini. Petinggi militer memiliki pemikiran tersendiri dan mungkin sudah menimbang dengan matang, berantisipasi tidak ingin pemberontakan berulang kembali seperti peristiwa di Madiun setahun yang lalu. Darah sudah terlanjur tertumpah diantara sesama kaum pribumi dan hanya menyisakan kenangan yang menyakitkan. Sudah terlalu banyak duka dan luka tertoreh yang ditulis dalam sejarah. Karena itu pemerintah berusaha keras menemukan jejaknya, yang akhirnya keberadaannya kemudian berhasil ditemukan di Semen, di sebuah gubug beratap pelepah pohon tal, di pedalaman atas gunung Wilis.
Sersan yang sudah menemukan sosok yang dicarinya kemudian menjadi gamang. Sebenarnya dia sudah berusaha membujuk orang Minang itu agar menyerah saja. Akan tetapi usaha sersan tidak membuahkan hasil. Orang itu bahkan mencela, menganggap kalau sersan salah sasaran menangkap orang. Komunikasi antara keduanya menjadi buntu karena orang itu menolak disebut pemberontak dan menolak tunduk pada petinggi militer. Dan seperti rencana yang sudah disusun oleh komandan batalyon, satu pleton pasukan tentara yang sudah dibawa oleh sersan, langsung memutahkan puluhan peluru tanpa ampun (mengapa tidak dipaksa ditahan saja, bukankah dia hanya sendirian dan tanpa senjata ? Atau memang orang Minang ini sangat berbahaya dimata petinggi militer ?) Sampai menutup matapun, orang Minang itu tidak mengaku bersalah, tetap bersikukuh bahwa dirinya tidak berkhianat pada negara. Karena baginya, apa yang selama ini dilakukannya hanya berjuang menentang pemerintahan kolonial Belanda. Dia memilih mati tanpa diadili.
LidwinaODOP9 (26) 26 Sept 2021
#OneDayOnePost #KomunitasODOP
https://www.ngodop.com/2021/08/dari-gunuang-omeh-ke-jalan-lain-di.html?m=1
Aku baru mau ngerjakan, Mbaak. Baru baca cerita Mas Heru yang ini seru memang. Semangat terus ya, Mbak.
BalasHapusBerusaha semangatt.. tapi maaf ya nulisku amburadul.. belum biasa nulis opini 🙈
BalasHapus