HUTAN SUNYI (2)


   Oleh : Lidwina Ro


   Bayangan Ayah melintas pertama kali. Ayah? Lelaki kasar itu tidak mungkin cemas padaku. Aku berani bertaruh, seandainya aku tidak pulang sebulan pun, Ayah pasti tidak akan mencariku. 

   Aku lalu membalikkan badan, kembali berdiri pada posisi semula. Mataku menatap lurus ke depan, ke arah setitik cahaya kecil di ujung jalan sana. 

   Perlahan aku memberanikan melangkah berjalan. Meskipun hutan sunyi ini aneh, tapi aku harus mulai membiasakan diri.

  Kutajamkan mataku ke ujung jalan. Apakah kira-kira ada orang disana ? Atau setidaknya warung untuk singgah melepas lelah dan haus. Mengapa tenggorokanku tiba-tiba sangat kering?

   Ah, ya! Kalau saja di ujung jalan itu ada orang, berarti aku akan memiliki kesempatan bertanya padanya. Satu pertanyaan saja. Bolehkah aku memilih ayahku sendiri?

   Andai saja aku bisa menentukan siapa yang bisa menjadi ayahku, alangkah bahagianya aku! Pasti aku akan memilih Ayah yang gagah, kuat dan bisa melindungi keluarga! Bukan ayah yang suka berjudi dan pemabok! Pemarah dan suka memukul.

   Sambil terus berjalan pelan menuju cahaya kecil, aku  membayangkan  seorang ayah dengan seragam loreng yang keren, seorang tentara gagah, berwajah berwibawa, berlengan kekar yang siap memeluk hangat anaknya. Ya! Seperti ayahnya Diana teman sebangkuku itu! Aku selalu menatap diam-diam tawa bahagia Diana dan menjadi iri, kalau melihat perlakuan ayah Diana. Menjemputnya di sekolah, atau mengusap kepala Diana, dan menggandeng Diana.

   Lalu tiba-tiba seraut wajah ayu dengan tubuh kurus dan senyum lembut muncul di kepalaku. Wajah Ibu! Meskipun ibu selalu pendiam dan perhatian, tapi ibu kelihatan lemah. Ibu selalu diam jika ayah marah. Tak pernah membantah, apalagi melawan. Bahkan tidak pernah membalas jika ayah menampar atau mendorong kepala Ibu sampai terbentur tembok. Seperti biasa Ibu hanya bisa menahan tangis.

   “Itulah sebabnya kamu harus pulang.”

Heh! Aku kaget setengah mati, juga ketakutan, mendengar suara lembut yang tiba-tiba menyapa. Seorang yang gagah rupawan berjalan di sisiku. Aku celingukan ke kanan ke kiri, mencoba menerka dari mana asal kedatangannya. 

   Orang berpakaian putih bersih dan bersinar itu tersenyum hangat. Senyumnya menenangkan. Ketika aku diam-diam hendak menengok ke sisi kanan kiri tubuhnya -memeriksa apakah dia bersayap- orang itu malah tersenyum lebar dan mengetuk pucuk kepalaku dengan lembut.

   “Sekar, sudah waktunya kamu pulang.”

   Lho! Darimana Oom ini tahu namaku?

   “Si-siapa kamu Oom? Aku masih ingin disini.”

   “Iya, tapi tidak sekarang. Ibumu sekarang cemas menunggumu.” 

   Orang itu merangkul bahuku. Anehnya aku tak bisa menolak. Rangkulannya mengikis ketakutan. Membuat aku tenang, nyaman dan ingin menangis. Kelihatannya Oom ini bisa dipercaya. Tapi, dari mana Oom ini tahu kalau Ibu sedang menunggunya? Apakah Oom ini tahu segalanya? Ah, kebetulan sekali kalau begitu. 

   “Ada apa di balik cahaya itu, Oom?” Tanganku menunjuk pada setitik cahaya di ujung jalan. 

   “Kau mau melihatnya?”

Aku buru-buru mengangguk. Dan Oom itu membawaku menuju pada setitik cahaya di depan dalam sekejap. Wah, mengapa cepat sekali sampainya? Hanya sekedipan mata! Heh! Siapa Oom ini sebenarnya? Mengapa dia sungguh hebat?

(Bersambung)


Cikarang, 07 Maret 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MASA LALU

GUNUNG BATU

TRAVELLING : Kampung Coklat yang Unik